Di tengah derasnya arus perkembangan teknologi kecerdasan buatan, muncul pula gelombang penolakan dan gugatan yang tidak kalah sengit.

Gugatan demi gugatan dilayangkan, sebagian oleh para pekerja seni, sebagian oleh korporasi, dan sebagian lagi oleh individu yang merasa hak kreatif mereka mulai tergerus.

Dunia sedang berebut narasi, siapa pemilik sah dari hasil ciptaan mesin yang belajar dari karya manusia?

Di sela-sela itu, saya iseng bereksperimen.

Saya coba menggabungkan gaya visual khas Studio Ghibli dan Makoto Shinkai ke dalam dokumentasi perjalanan pribadi ketika melakukan Touring Bantern – Jawa Barat 28 – 30 Maret 2025.

Bukan sebagai bentuk penghormatan besar, bukan pula untuk tujuan komersial. Murni rasa penasaran, campuran antara teknologi dan imajinasi yang selama ini hanya bisa saya nikmati di layar.

Sebagai pengguna berbayar layanan OpenAI, saya merasa punya sedikit hak moral untuk menjelajah teknologi ini.

Bukan untuk memanfaatkan secara serampangan, melainkan untuk melihat sejauh apa teknologi bisa “meniru” rasa.

Saya pun mengasumsikan bahwa segala urusan legalitas dan etika berada di ranah penyedia jasa, sebuah asumsi yang mungkin terlalu naif, tapi juga cukup umum di kalangan pengguna.

Saya membayangkannya seperti seni kaligrafi.

Dulu, kaligrafi ditulis tangan dengan penuh kekhusyukan. Kini, kita bisa menirunya dalam hitungan detik menggunakan software vektor.

Tak ada yang menggugat Adobe Illustrator ketika ia mampu mereplikasi huruf-huruf Arab dengan lekukan sempurna.

Yang dulu sakral dan rumit, kini menjadi template dan preset.

Namun, ada satu perbedaan penting.

Seniman kaligrafi klasik sudah lama wafat. Warisan mereka telah menjadi milik publik, lebur ke dalam kebudayaan umum.

Tapi bagaimana dengan Hayao Miyazaki, Makoto Shinkai, atau ilustrator-ilustrator kontemporer lainnya yang masih hidup, masih berkarya, dan kini bisa melihat gaya mereka dipakai ulang oleh mesin?

Apakah ini penghormatan? Atau perampokan estetika?

Saya tidak punya jawaban yang pasti.

Namun, saya teringat satu kutipan dari Matt Mullenweg, pendiri WordPress, “Code is poetry.”
Kode program adalah puisi.

Ia diciptakan dengan struktur, keindahan, dan niat. Ia bisa menggerakkan perasaan, sama seperti lukisan atau musik.

Maka, para ilmuwan yang menciptakan model AI, seperti GPT atau DALL·E, sejatinya sedang menciptakan bentuk seni juga, hanya saja medianya bukan kanvas, melainkan kumpulan angka dan logika.

Pertanyaannya besarnya, Apakah para pekerja seni melihat kode sebagai bentuk seni juga?
Atau seni tetap harus berasal dari tangan manusia yang berkeringat, berdarah, dan bergumul dengan kesunyian?

Teknologi terus bergerak maju, dan perdebatan ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Tapi bagi saya pribadi, AI adalah alat, seperti kuas, kamera, atau piano.

Yang membedakan hanyalah siapa yang memegangnya, dan untuk tujuan apa.

Dan sementara itu, saya akan terus bermain. Menikmati benturan antara Ghibli, Makoto, dan model AI. Karena siapa tahu, dari sana justru lahir bentuk seni baru yang belum sempat kita bayangkan.

Explorasi atau Exploitasi ?

Apa yang saya lakukan ini mungkin tidak sepenuhnya aman dari kritik, dan itu wajar.

Dunia seni selalu dibangun dari perdebatan. Dari pertanyaan-pertanyaan yang tak selesai.

Tapi satu hal yang pasti, teknologi sudah di tangan kita, dan tidak mungkin kita menutup mata.

Justru dengan eksplorasi terbuka dan bertanggung jawab, kita bisa ikut mengarahkan ke mana teknologi ini melangkah.

Mungkin hari ini kita cuma bermain dengan gambar. Tapi besok, kita bisa menciptakan narasi, ruang, bahkan dunia baru yang lebih kaya dengan mesin sebagai rekan, bukan ancaman.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.