Di era post-truth dan benturan kebudayaan ini, media sosial menjadi tempat di mana setiap orang bebas menampilkan keyakinan pribadinya secara terbuka.

Salah satu fenomena yang kini sering terlihat adalah banyak orang mengaitkan hampir setiap hal dalam hidupnya dengan agama.

Mulai dari masalah politik, film, olahraga, hingga kehidupan sehari-hari, semuanya dibahas melalui lensa agama dengan intensitas tinggi.

Pertanyaan besarnya, apakah fenomena ini menunjukkan keyakinan diri yang kokoh, atau justru menandakan bahwa seseorang sedang berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri?

“Mungkin bukan orang lain yang ingin diyakinkan, tapi dirinya sendiri.”

Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, kita dapat menggunakan perspektif psikologi yang dikenal dengan istilah Reaction Formation, sebuah mekanisme pertahanan diri.

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856–1939), seorang tokoh atau legenda psikoanalisis asal Austria.

Freud mengemukakan bahwa Reaction Formation adalah sebuah mekanisme pertahanan psikologis di mana seseorang menampilkan perilaku yang berlawanan secara ekstrem dari perasaan atau dorongan asli yang dianggapnya tidak nyaman atau tidak diterima secara moral.

Sebagai contoh, seseorang yang diam-diam memiliki keraguan besar terhadap keyakinannya sendiri justru tampil secara ekstrem di publik sebagai orang yang sangat yakin, keras, bahkan cenderung fanatik.

Ia melakukan ini untuk menutupi konflik batinnya, sebuah upaya keras menyembunyikan keraguannya dari lingkungan sekitar, bahkan dari dirinya sendiri.

Mengapa Seseorang Terlalu Sering Mengaitkan Segala Hal dengan Agama?

Dengan konsep Reaction Formation ini, kita bisa memahami mengapa sebagian orang begitu sering membawa agama dalam segala aspek kehidupan di media sosial.

man wearing black t-shirt close-up photography

Logikanya sederhana namun kuat;

Seseorang yang sepenuhnya yakin terhadap imannya biasanya hidup dalam ketenangan batin, tidak merasa perlu terus-menerus mengumumkan keyakinannya secara eksplisit kepada orang lain.

Sebaliknya, seseorang yang mengalami keraguan batin akan merasakan dorongan kuat untuk mencari validasi eksternal.

Semakin kuat keraguan internal itu, semakin vokal pula ia berbicara tentang agamanya.

Dengan kata lain, orang yang terlalu keras dan intens berbicara tentang agama sering kali sedang bergulat dengan ketidaknyamanan internal, yaitu keraguan yang tidak pernah ia akui secara sadar.

“Semakin keras seseorang bicara iman, semakin besar kemungkinan ia sedang melawan keraguan dalam dirinya sendiri.”

Identity Signaling, Tekanan Sosial dan Dorongan Kelompok

Selain Reaction Formation, ada pula konsep Identity Signaling, di mana seseorang terus-menerus menampilkan simbol atau perilaku tertentu untuk menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari suatu kelompok sosial.

Dalam konteks agama, seseorang yang hidup di lingkungan yang sangat religius mungkin merasa wajib menunjukkan identitas religiusnya secara terbuka agar terus diterima oleh kelompoknya.

Namun, tekanan sosial semacam ini justru bisa memperkuat perasaan gelisah dan konflik internal seseorang.

Bukannya memperkokoh keimanan, hal ini malah berpotensi membuat seseorang semakin jauh dari ketenangan batin yang merupakan inti dari keyakinan religius.

Keyakinan yang Matang adalah Keyakinan yang Tenang

Sebaliknya, orang yang memiliki keyakinan matang biasanya lebih tenang, tidak merasa perlu terus-menerus menyuarakan imannya secara vokal.

Ia nyaman dengan perbedaan, mampu menghargai pandangan lain, dan tidak merasa terancam oleh opini yang bertentangan. Ia lebih fokus pada substansi spiritual, bukan sekadar simbol dan pertunjukan agama.

“Iman yang matang tidak butuh panggung, ia hadir dalam ketenangan sehari-hari.”

Siapa Sebenarnya yang Ingin Diyakinkan?

Dunia digital post-truth yang penuh kebisingan membuat kita harus lebih peka terhadap tanda-tanda di balik perilaku seseorang.

Jika kita menemui seseorang yang selalu mengaitkan semua hal dengan agama secara berlebihan, mungkin kita perlu bertanya lebih dalam, apakah ini benar-benar ekspresi keimanan yang kuat, atau justru refleksi ketakutan dan keraguan yang tak pernah diakuinya?

Sering kali, semakin keras seseorang bicara tentang imannya, yang ingin ia yakinkan sebenarnya bukanlah dunia luar, tetapi dirinya sendiri.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.