Mengapa kami memilih kalimat tersebut sebagai tema perkawinan? Ya memang keputusan menuju ke “perangkap” perkawinan itu kami rasakan sangat… mmm… apa ya kata yang tepat? Sangat tak terduga… (mungkin itu kata yang agak tepat menggambarkan kondisi itu).

Pertama , kami memang tidak terpikir untuk menikah. Didit sudah merasa jatuh cinta dengan pekerjaannya dan menjadi seorang workaholic kalau sudah berhadapan dengan benda mati bernama komputer. Sementara Happy merasa amit-amit kalau harus terikat dengan seorang pria dan menjadi seorang istri pada umumnya yang punya kewajiban melayani suami (baca: fobia komitmen).

Sebenarnya, format samenleven adalah format yang tepat buat kami berdua… hahahaha…. Tapi, damn , ini di Indonesia, man! Negara di mana moral dijunjung tinggi (cuiiih…). Kami sebenarnya juga bingung apa yang salah dengan samenleven ? Rasanya nggak salah kalau dilakukan dengan sadar, bertanggung-jawab, dan nggak nyusahin orang lain… hehehehe…. Pengen nyoba, sih, sebenernya… tapi nyali belum terkumpul-terkumpul juga. Alasannya: takut sama Hansip dan masyarakat yang suka over-reacted tentang hal-hal seperti itu (padahal mereka iri, tuh… hehehe… piiiis). Bukannya apa-apa… mereka kalau bereaksi, kan , suka melebihi akal sehat, misalnya pasangan tersebut digebukin atau diarak bugil. Sebenernya bugil, sih, nggak apa-apa asal dibayar… loh? Hehehe….

Kedua, adalah soal agama (sebenernya, sih, nggak penting untuk dibahas, tapi ini perlu dikemukakan). Secara de jure (dulu) agama kami berdua berbeda, tapi sebenernya (baik dulu dan sekarang) iman kami sama, yaitu: sama-sama nggak peduli dan nggak percaya sama agama (lagipula agama yang kami anut itu sebenernya bersifat genetik… dari orang tua diturunkan ke anak hehehe). Eh… tapi kami bukan ateis, loh. Kami berpendapat, orang yang nggak beragama belum tentu tidak ber-Tuhan. Ya, masing-masing orang, kan, punya cara berbeda-beda untuk mencari Tuhannya. Begitu pula dengan kami… kami punya cara yang manis untuk menemukan kedamaian dalam Tuhan. Hmmm… kalau saja di Indonesia orang boleh nggak beragama, mungkin kami daftar. Berhubung takut dibakar aja karena dituduh PKI… hehehe…. Bukannya apa-apa, tapi kami merasa bosan dan muak dengan eksklusivitas agama yang berlebihan….

OK… kami nggak mau berpanjang-panjang membahas soal hal yang bagi sebagian besar orang dianggap sensitif itu. Yang ingin kami utarakan di sini adalah ketika Undang-Undang tentang Perkawinan (UU No. 1 / 1974), terutama pasal 2 menghendaki kalau sahnya perkawinan itu harus dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Nah, lho… kalau agamanya saja sudah beda terus bagaimana? Pakai agama siapa, dong? Kalau yang satu “ikut” agama pasangannya demi sebuah perkawinan, apakah itu fair mengingat urusan Tuhan itu adalah urusan yang paling pribadi dan tidak bisa dipaksakan? Belum lagi adanya tekanan dari luar yang ikut campur… yang nggak senang kalau ada satu umat yang keluar dari komunitas agama tertentu untuk masuk ke komunitas agama lainnya. Eh, ini hal yang berat, lho, apalagi kalau pihak luar itu adalah keluarga sendiri….

Memang, sih, ada beberapa kasus perkawinan beda agama bisa terlaksana… tapi itu, kan, ribet banget. Mulai dari menikah di luar negeri (lha wong teman-teman dan keluarga semua ada di Indonesia kenapa juga harus nikah di luar negeri… lagipula harganya mahal, man!) sampai pakai putusan pengadilan. Ribet banget, kan? Kayaknya males banget, deh, ngeluarin energi untuk hal-hal yang sebenernya nggak penting seperti itu.

Mungkin ada baiknya kaleee… kalau orang-orang di Senayan punya otak untuk buat Undang-Undang Perkawinan Beda Agama. Sekarang masyarakat, kan, sudah semakin majemuk dan eksklusivitas agama sebenarnya sudah nggak zaman lagi. Ya, daripada ngurusin aturan tentang tubuh perempuan atau penangkapan perempuan yang diduga sebagai pelacur (hukum, kok, pakai kata “diduga”) karena bawa bedak dan lipstik serta berdiri di pinggir jalan? Mendingan bikin UU yang berguna. Kasihan, kan, banyak pasangan yang dimabuk asmara (aiiih…) terus nggak jadi mabuk karena agama mereka berbeda?

Ketiga, adalah soal pihak ketiga yang tidak setuju. Hmmm…. Apa ya yang perlu dijelaskan? Eh, lihat saja pada penjelasan nomor dua.

JADI… mengapa kami akhirnya menikah? Pertama, kami benar-benar tunduk pada hormon… huahahahahahahahahahahaha…(baca: demi hormon, kami bersedia mengarungi rintangan-rintangan seperti yang tersebut di atas) dan kedua karena… takut digebukin Hansip… hehehehe…. Soal cinta?? Hari gene bicara tentang cinta?? Tapi… ya, bolehlah dimasukkan ke dalam alasan ketiga… lagipula kami berdua kebetulan memang saling jatuh cinta dengan kegilaan masing-masing. Dan untuk menjamin kalau masing-masing pihak masih punya kebebasan yang sama seperti sebelum menikah (kecuali dalam hal bersetubuh tentunya… hehehehe) kami membuat sebuah perjanjian di atas materai. Wah… harus itu! Hehehehe….

Iya… iya… kalian yang baca tulisan ini pasti menganggap kami adalah pasangan yang aneh. Hmmm… aneh menurut siapa? Aneh itu, kan, kata sifat. Kata sifat baru mempunyai arti kalau ada pembanding hehehe. Tapi kami nggak masalah, kok, kalau dibilang aneh huehehehehe….

Piiiiiisss and love,
Happy dan Didit

Disclaimer :tulisan ini hanya berupa uneg-uneg semata. Jangan dimasukkan ke dalam hati, lebih baik dimasukkan ke dalam perut… lumayan bikin kenyang… hehehe….

8 Comments Get Married Finally

  1. Ayu

    Ayu setuju banget sama seluruh poin kalian berdua hepi n didit. terutama soal ekslusivitas agama… hehehe..selamat ya…

    Reply
  2. happyninatyas

    hahahaha….mengalami jugakah? hehehe… secara lo wartawan buat dong pergerakan lewat tulisan hihihihihi…piis…thanks ya, Yu

    Reply
  3. Ketut - Bali

    You're lucky menjalani hidup dengan apa adanya.. salut buat kalian..
    tapi saya(hindu) pasangan (kristen) belum menemukan jalan untuk itu, terlebih kami hanya ingin menghormati keyakinan masing masing.
    adat dan agama masih menjadikan kami pasangan kumpul kebo abadi… help us, anyone?

    Reply
  4. happyninatyas

    dear Ketut…keren banget lo bisa memutuskan untuk kumpul kebo hehehe (sebenernya sih gue pengennya gitu dibandingkan harus secara resmi merit hehehe). Kalo menurut gue sih jalanin aja apa yang menurut kalian terbaik. Dan saran gue: jangan dengerin orang lain kalo menurut lo orang lain itu justru membelenggu lo sebagai manusia (cieh bahasanya…). Berontak-berontak sedikit gak papalah…itu adalah bumbu perjuangan hidup. Jangan ikut-ikutan majority rules kalau ternyata lo sendiri nggak merasa nyaman. Jadilah manusia yang benar-benar manusia…hehehe

    Reply
  5. anangyb

    Bagi seorang penggila TI, memulai hidup baru selepas melepas lajang adalah membuat website baru…
    Bagi seorang novelis? Moga-moga segera muncul novel seerotis SALMAN;
    terlalu sayang kalau pengalaman pertama tidak diprasastikan dalam novel.
    GBU

    Reply
  6. Ayu

    Setuju banget and salut ama pendapat kaliyan berdua. You know, masalahnya gue and cowok gue juga beda agama. Kita jg mikir, lha wong qta hidup di Indonesia yang punya beragam suku en agama, kenapa hal itu dipermasalahkan, ya ga?

    Reply
  7. diditho

    Dear ayu, itu dia kalo negara terlalu ikut campur untuk ngurusin wilayah yang sangat private. Sempat kaget dan takjub juga ngelihat akte pernikahan sipil. Di bagian akhirnya ditulis "…telah menikah secara agama…." Kasihan banget pasangan yang agama atau kepercayaannya nggak bisa melegitimasi perbedaan keyakinan.

    Reply

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.