Ketika demokrasi diparkir rapi, dan “magis”, dan akhirnya tidak pernah sampai ke meja pemilihan.

Saya kebutulan alumni Kolese Gonzaga angkatan 8, yang lulus tahun 1997.

Kalau kalimat itu saya tulis di awal, itu bukan sekadar penanda umur dan generasi, lebih seperti “alamat batin”, karena Gonzaga (dan tradisi Jesuit yang jadi fondasinya) meninggalkan semacam sidik jari di cara kita menilai sesuatu.

Sidik jari bukan hanya soal terkait “berjalan atau tidak”, tetapi lebih kepada “benar atau tidak”, “adil atau tidak”, “membangun manusia atau hanya membangun struktur”.

Itu sebabnya saya sulit pura-pura santai ketika melihat pola kepengurusan Ikatan Alumni Gonzaga alias IKAGONA yang beberapa tahun terakhir beberapa kali bergerak tanpa proses pemilihan yang benar-benar memberi mandat langsung dari alumni.

Yang terjadi, kepemimpinan dipilih oleh wakil angkatan, artinya tidak ada demokrasi yang sehat di tingkat alumni sebagai “pemilik” ikatan.

Secara administratif mungkin terlihat rapi. Secara logistik mungkin terasa efisien. Secara sosial mungkin menghindari kegaduhan. Tetapi kalau kita bicara tentang organisasi yang mengatasnamakan ribuan orang, “rapi” bukan ukuran utama, tetapi legitimasi adalah ukuran utama.

Dan legitimasi itu lahir dari sesuatu yang sederhana tapi mahal, kesempatan yang sama untuk memberikan suara.

Di sinilah saya merasa persoalannya bukan cuma prosedural, ada yang lebih dalam, terkait “Gonzaga”. dan ajaran spiritualitas “Ignasian”.

Kalau kita ingat ulang ruh Ignasian, ia tidak pernah mengajarkan kita untuk alergi pada pertanyaan. Justru sebaliknya, tradisi Ignatius menempatkan refleksi sebagai disiplin, bukan sebagai aksesori. Salah satu praktik paling khas adalah Examen, refleksi harian untuk menyadari gerak batin, mensyukuri yang baik, mengakui yang melenceng, lalu membuat komitmen perbaikan.

Examen itu bukan sekadar “merenung”, ia adalah latihan kejujuran yang membongkar ilusi bahwa “yang penting jalan” selalu berarti “yang benar”. (Jesuits.org)

Nah, kalau Examen diterapkan sebagai kultur organisasi, pertanyaan pertama IKAGONA mestinya bukan “siapa yang paling siap jadi pengurus”, tapi apakah “proses kita lakukan dan jalani ini membawa konsolasi atau desolasi?”

Dalam bahasa sederhana, proses ini membuat alumni makin merasa memiliki, atau makin merasa jadi penonton? Proses ini makin memanusiakan, atau makin mengunci?

Di titik ini, saya juga mau pinjam kacamata teori organisasi, bukan untuk sok akademis, tapi untuk menamai fenomena yang sebenarnya sering terjadi di mana-mana.

Robert Michels punya gagasan terkenal, iron law of oligarchy, kecenderungan organisasi besar untuk pada akhirnya dikuasai segelintir orang, bukan selalu karena niat buruk, melainkan karena “kebutuhan teknis” organisasi, seperti akses informasi, rutinitas birokrasi, dan fakta bahwa yang mengurus harian biasanya otomatis jadi yang paling berpengaruh. Bahkan organisasi yang lahir dengan cita-cita demokratis pun bisa mengerucut dan menjadi kerdil (Encyclopedia Britannica)

Kalau itu terjadi, biasanya ia terjadi pelan-pelan, nyaris tidak terasa. Dimulai dari kalimat yang terdengar dewasa, “biar cepat”, “biar tidak ribut”, “alumni sibuk”, “cukup wakil angkatan saja”.

Di sinilah demokrasi diparkir rapi. Parkir rapi itu menggoda karena tampak tertib. Tapi parkir tetap parkir, ia menghentikan gerak yang seharusnya hidup.

Lalu muncul problem kedua, hubungan “yang diwakili” dan “yang mewakili”. Di ilmu ekonomi dan tata kelola, ini sering disebut principal–agent problem, konflik kepentingan dan ketidakseimbangan informasi ketika agen bertindak atas nama prinsipal, sementara prinsipal sulit mengawasi dan memberi sanksi.

Ketika kontrol lemah, agen makin mudah bergerak sesuai preferensinya sendiri, kadang tanpa sadar dan tanpa niat jahat sekalipun. (Wikipedia)

Dalam konteks IKAGONA, “prinsipal”nya adalah alumni luas. “Agen”nya adalah struktur perwakilan dan kepengurusan.

Kalau mandat tidak datang langsung dari alumni, dan kalau mekanisme akuntabilitas tidak dibangun sebagai kebiasaan publik, relasinya berubah jadi “titip urus”, alumni menitipkan, pengurus mengurus, lalu semua berharap pada niat baik.

Masalahnya, sistem yang bergantung pada niat baik selalu rapuh. Sistem yang sehat justru dirancang untuk tetap sehat bahkan ketika orangnya biasa-biasa saja.

Lalu muncul gejala yang sering disalahartikan sebagai “alumni tidak peduli”. Padahal bisa jadi yang terjadi adalah rational ignorance, istilah yang dipopulerkan Anthony Downs, orang memilih tidak menginvestasikan waktu untuk memahami atau terlibat karena biaya (waktu, energi, drama) terasa lebih besar daripada manfaat yang mungkin didapat dari satu suara.

Kalau alumninya tidak melihat kanal yang jelas untuk bersuara, tidak melihat kompetisi gagasan, tidak melihat transparansi yang membuat suara mereka “bernilai”, maka diam jadi pilihan yang rasional. Dan ketika banyak orang diam, organisasi tampak aktif, tetapi rasa memiliki pelan-pelan menguap.

Di titik ini, saya mau bilang versi “panas”nya dengan kalimat yang tetap saya jaga agar tidak berubah jadi fitnah atau seperti “serangan” yang tanpa dasar.

Kepengurusan yang berulang kali terbentuk tanpa mandat langsung dari alumni akan selalu punya legitimasi yang tipis.

Programnya boleh bagus, orangnya boleh kerja keras, tertapi fondasinya rapuh karena “izin memegang setir” tidak pernah diberikan oleh semua penumpang bus kota.

Namun saya juga mau meihat dari versi reflektifnya, barangkali ini bukan semata persoalan “mereka” di lingkaran inti, melainkan persoalan “kita” sebagai komunitas alumni yang pelan-pelan menukar keberanian moral dengan kenyamanan sosial.

Kita takut organisasi jadi gaduh. Kita takut beda pendapat. Kita takut kalah. Kita takut hubungan pertemanan terganggu. Lalu kita memilih proses yang paling minim gesekan.

Padahal di tradisi Ignasian ada kata “discernment”, membedakan mana yang baik, mana yang lebih baik, mana yang paling selaras dengan tujuan. Discernment tidak anti proses. Discernment justru butuh ruang terang, informasi terbuka, suara yang didengar, dan kebiasaan mempertanggungjawabkan keputusan. (Jesuits.org)

Dan di sinilah “ruh Ignasian” paling terasa hilang, soal magis.

Magis sering disalahpahami sebagai “lebih banyak” atau “lebih heboh”. Padahal magis dalam tradisi Ignasian lebih dekat dengan “yang lebih baik”, yang lebih selaras untuk pelayanan dan kebaikan yang lebih luas, bukan untuk kebanggaan sendiri. (Ignatian Spirituality)

Kalau IKAGONA mengejar magis, magisnya bukan di aftermovie yang lebih sinematik atau acara yang lebih ramai. Magis-nya justru ada di keberanian memperbaiki tata kelola, menjadikan mandat alumni sebagai sumber legitimasi, membangun kebiasaan transparansi, dan membuat pergantian kepemimpinan sebagai hal normal, bukan ancaman.

Lalu ada satu lagi yang menurut saya sangat “Gonzaga”, cura personalis, perhatian pada pribadi sebagai manusia utuh. (Diocese of San Jose)

Cura personalis bukan cuma tentang ramah. Ia tentang “melihat orang sebagai subjek”. Dalam organisasi alumni, cara paling nyata mempraktikkan cura personalis adalah memberi setiap alumni martabat partisipasi, mengakui bahwa suaranya ada, bukan sekadar “kalau sempat”.

Dan tentu saja, ada frase yang melekat dengan alumni sekolah Jesuit, men and women for others.

Fr. Pedro Arrupe menyampaikan pidato “Men for Others” (1973) kepada alumni sekolah Jesuit, sebuah ajakan agar alumni tidak memperkuat posisi privilese, melainkan mengarah pada pelayanan dan keadilan yang lebih luas. (Portal to Jesuit Studies)

Kalau kita serius dengan pesan itu, maka organisasi alumni tidak boleh menjadi mesin yang secara tidak sadar memperkuat privilese “yang punya akses” untuk selalu menentukan. “For others” seharusnya membuat kita curiga pada sistem yang terlalu nyaman bagi segelintir orang.

Pertanyaannya sekarang, kenapa ini bisa berulang?

Saya kira ada unsur path dependence, begitu sebuah pola “pemilihan oleh perwakilan” dijalankan sekali, ia membentuk kebiasaan, kebiasaan jadi standar, standar jadi “normal”, lalu normal itu dibela atas nama stabilitas.

Paul Pierson menulis tentang path dependence sebagai proses sosial yang sering ditopang oleh “increasing returns”, semakin lama satu jalur dipakai, semakin mahal rasanya untuk keluar dari jalur itu. (fbaum.unc.edu)

Di organisasi, “mahal” itu bukan cuma uang. Mahal itu berupa risiko sosial, takut konflik, takut split, takut dibilang oposisi, takut dianggap tidak solid. Dan akhirnya kita memilih jalan yang familiar, walau kualitasnya makin menurun.

Saya tidak menawarkan revolusi yang berisik. Saya tidak mengajak perang di grup. Saya mengajak reset yang elegan, justru agar IKAGONA kembali selaras dengan ruh yang dulu membentuk kita.

Reset yang elegan itu, menurut saya, harus dimulai dari pengakuan prinsip, pemimpin puncak IKAGONA harus mendapat mandat langsung dari alumni.

Setelah prinsip itu diterima sebagai kompas moral, hal-hal teknis bisa dikerjakan secara waras: verifikasi pemilih, forum pemaparan visi, ruang dialog, audit hasil, dan kebiasaan laporan publik yang ringkas namun rutin.

Kalau tidak ingin semua serba “sempurna”, tidak apa-apa yang penting jalurnya jelas, dari alumni, oleh alumni, untuk alumni. Karena organisasi alumni tanpa mandat alumni adalah paradoks yang rapi.

Ajakan konkritnya saya tulis begini, dalam bahasa yang membumi. Dalam 30 hari ke depan, alumni lintas angkatan bisa mulai mendorong adanya “komitmen terbuka” dari struktur yang ada, kapan pemilihan langsung akan dilakukan, dan apa rencana transisinya.

Dalam 60 hari, ruang dialog publik bisa dibuka, bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk menguji gagasan dan menguji mekanisme. Dalam 90 hari, sebuah pemilihan langsung minimal untuk posisi kunci bisa terjadi, meski awalnya sederhana.

Waktu ini bukan angka sakral, ini cara untuk menghindari satu penyakit organisasi yang paling halus, “nanti ya …”.

Dan sepanjang proses itu, saya mengajak kita mempraktikkan cara Ignasian yang paling sederhana tapi paling sulit, Examen kolektif.

Menanyakan dengan tenang tapi konsisten, keputusan ini membuat IKAGONA makin menjadi “rumah bersama”, atau justru makin menjadi “ruang sempit”?

Proses ini memberi konsolasi, membuka harapan dan rasa memiliki, atau desolasi, membuat alumni merasa jauh dan tidak dianggap?

Saya menulis ini sebagai alumni angkatan 8, lulus 1997. Bukan sebagai kandidat. Bukan sebagai musuh siapa pun. Tapi juga bukan sebagai penonton yang memilih aman. Karena kalau ada satu hal yang diajarkan tradisi Ignasian, itu keberanian untuk tidak nyaman demi yang lebih benar.

IKAGONA tidak harus sempurna. Tapi ia harus legitimate, dan kalau kita ingin judul “ikatan” itu bukan sekadar nama, maka ruh Ignasian tidak boleh berhenti di slogan. Ia harus turun ke meja pemilihan, ke mekanisme mandat, ke budaya akuntabilitas, dan ke keberanian untuk berkata, magis bukan “lebih ramai”, magis adalah “lebih benar”.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.