Pernah nggak sih lihat orang yang udah pensiun tapi tetap sibuk kerja? Ada yang masih jadi konsultan, buka warung kecil, atau malah makin rajin ke kantor dibanding waktu belum pensiun.

Kadang kita mikir, “Udah waktunya santai, kenapa masih repot sih?” Tapi ternyata, fenomena ini nggak cuma ada di Indonesia. Di berbagai negara seperti Eropa, sampai Singapura, banyak juga yang tetap kerja setelah usia pensiun.

Alasannya? Macam-macam! Mulai dari kebutuhan finansial, kecintaan pada pekerjaan, alasan masih dibutuhkan perusahaan, sampai alasan eksistensial.

Serius, ada yang bilang kerja itu bikin hidup terasa lebih hidup.

Gue jadi keinget tetangga gue, Pak Budi (nama samaran, biar aman), yang pensiun dari kerja kantoran. Semua orang kira setelah pensiun dia bakal santai di rumah, main sama cucu, atau ngurus tanaman.

Eh, beberapa minggu setelag pensiun, udah aktif di pengurusan dan kepanitiaan RT dan RW depan komplek sambil curhat, “Bosen gue di rumah, istri nyuruh ngepel mulu!” Akhirnya, Pak Budi balik kerja, kali ini jadi pelayan publik.

Katanya, “Mending pusing karena kerjaan urus orang daripada stres belanja ke pasar tiap pagi.”

Duh, Pak… relatable banget!

Kenapa Banyak Orang Ogah Pensiun?

Duit Tetap Jadi Alasan Utama. Yap, yang satu ini udah nggak perlu dijelasin panjang lebar. Biaya hidup makin naik, sementara tabungan pensiun… ya, kadang nggak seberapa.

Apalagi kalau keluarganya single income atau punya banyak tanggungan seperti anak yang masih sekolah, cicilan rumah, atau biaya kesehatan yang nggak murah.

Di Indonesia, banyak yang kerja lagi karena kebutuhan. “Masa udah tua malah ngutang?” kata Pak Budi.

Di Eropa, khususnya Jerman dan Belanda, sistem pensiun mereka termasuk yang terbaik di dunia. Jerman punya tiga pilar pensiun, asuransi wajib, pensiun perusahaan, dan pensiun swasta.

Belanda malah sering jadi juara di indeks sistem pensiun global. Tapi, walaupun sistemnya rapi, tetap ada yang kerja setelah pensiun.

Kenapa? “Biar bisa ngopi di kafe sambil makan croissant tanpa mikir dompet bolong,” mungkin begitu kalo kita berkhayal mengenai kegelisahaan pensiunan di Negeri Kincir Angin.

Lah, kita di sini cukup indomie plus telur aja udah seneng!

Dari sisi filsafat, manusia memang disebut sebagai homo laborans, makhluk yang bekerja untuk bertahan hidup. Tapi nggak cuma itu, ada juga konsep homo faber, yang artinya manusia adalah makhluk pencipta. Nggak cuma kerja buat cari makan, tapi juga pengen bikin sesuatu yang bermanfaat.

Homo faber, “working man” adalah konsep yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang mampu menciptakan atau menghasilkan sesuatu. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, “Homo faber suae quisque fortunae” yang berarti “Setiap manusia adalah pembuat takdirnya”. 

Eksistensialis Kierkegaard bahkan bilang, penampilan seseorang sejajar dengan pekerjaannya. Kerja itu bagian dari eksistensi diri.

Filsafat Kristen juga mendukung ide ini, menghargai hasil karya tangan manusia sebagai wujud martabat. Jadi wajar aja kalau ada yang bilang, “Saya ada, karena saya berkarya.”

man in gray hoodie and blue denim jeans kneeling on green grass field during daytime
People is working in the farm — Photo by Tim Mossholder

Kerja Biar Hidup Ada Warnanya, Pernah lihat orang tua yang matanya berbinar pas ngomongin kerjaannya? Ada loh yang kerja bukan buat duit, tapi karena sayang sama pekerjaannya.

Teman satu kantor gue dulu contohnya. Udah pensiun, tapi masih keliling ngasih seminar dan jadi selebriti di dunia olahraga.

“Capek sih, tapi lebih capek kalau di rumah diem doang bengong ngga ngapa-ngapain,” katanya sambil ketawa.

Di Singapura, banyak lansia tetap kerja karena biaya hidup yang tinggi. Tapi nggak semua karena terpaksa. Ada pendapat yang saya pernah baca di sebuah situs berita, “Kalau di rumah terus, badan malah pegel semua. Mending jalan, ketemu orang, kerja ringan, dapet duit pula.”

Pemerintahnya pun ngedukung. Usia pensiun di sana naik jadi 63 tahun, dengan opsi kerja diperpanjang sampai 68 tahun.

Banyak lansia yang kerja di restoran, jadi penjaga MRT, staf kebersihan, sampai petugas keamanan di perkantoran.

Temen gue pernah cerita, “Di Singapura, lo bisa lihat nenek-nenek kerja lebih rajin dari anak muda yang sibuk main HP.”

Respect banget!

Fenomena ini cocok dan sejalah dengan istilah homo faber, kerja bukan sekadar alat bertahan hidup, tapi ekspresi diri. Lewat kerja, mereka menjaga harga diri, bersosialisasi, dan merasa dibutuhkan.

Buat sebagian orang, pensiun total malah bikin stres karena kehilangan identitas yang selama ini lekat dengan pekerjaannya.

“Saya Masih Kuat, Ngapain Pensiun?” Ada juga yang ngerasa masih kuat, sehat, dan bugar. Dosen, penulis, seniman, profesi yang nggak terlalu nguras tenaga fisik sering banget kayak gini.

Om gue misalnya, umur 60an masih rajin ngurus bisnis event sampi jalanin warung makan. “Otak dan jiwa tuh kayak otot, kalau nggak dipakai ya letoy,” katanya.

Cuma ya, sering juga tuh kacamata dicari-cari padahal nemplok di kepala. Wkwk.

Eropa, Sistem pensiunnya juara, tapi tetap ada yang kerja. Oma Ingrid di Belanda bilang, “Pensiun itu bukan buat diem, tapi waktunya nikmatin hidup!” Banyak yang memanfaatkan waktu luang untuk berkebun, ikut komunitas seni, atau traveling keliling Eropa.

Di Jerman, beberapa pensiunan malah aktif jadi relawan atau mentor bisnis untuk generasi muda. “Kalau masih bisa nyapu halaman sendiri, kenapa harus nungguin orang?” katanya.

Di Eropa, banyak seniman yang makin produktif di usia pensiun. Contohnya Claude Monet, pelukis asal Prancis yang terus berkarya hingga usia 86 tahun. Serial lukisan “Water Lilies” yang legendaris justru dibuatnya di masa-masa akhir hidup.

Ada juga Pierre Soulages, yang tetap aktif melukis hingga usia 100 tahun dan dikenal sebagai “Master of Black.” Di Inggris, aktor Ian McKellen masih aktif berakting di atas usia 80-an.

Konsep homo faber lagi-lagi muncul: menciptakan bikin hidup lebih berwarna.

Bayangin, udah ubanan tapi lukisan lo dipajang di galeri bergengsi atau tetap tampil di layar lebar. Siapa yang nggak bangga?

Ada Positifnya, Tapi Juga ada Negatifnya

BIla sudah masuk masa pensiun dan masih berkerja, ada dampak postif yang bisa diambil dari pengalaman tersebut, mulai dari …

Dengan Pengalaman segudang dapat menjadi acuan, punya atasan atau rekan kerja senior itu seperti mendapatkan buku panduan hidup gratis. Mereka udah ngelewatin krisis ekonomi, konflik kantor, sampe drama-drama yang sekarang jadi bahan cerita seru.

Mendapatkan kesehatan mental, karena kita tetap aktif dan akan membuat hidup lebih bahagia. Kierkegaard mengatakan, eksistensi manusia terasa nyata kalau ada tindakan dan karya.

Ekonomi berputar, lansia yang tetap kerja ya tetap belanja, makan di luar, traveling… dampaknya ke ekonomi juga positif, terjadi perputaran kapital yang sehat.

Slain dampak postif, ada dampak negatif yang bisa yang harus kita sadari, mulai dari …

Regenerasi seret, anak muda jadi susah naik jabatan kalau seniornya nggak mau pensiun.

Risiko kesehatan, niatnya aktif, eh malah kecapekan. Apalagi kalau kerjanya berat.

Kerja jadi candu, Ada yang sampai nggak tahu harus ngapain saat benar-benar pensiun. Hidupnya cuma muter di kerjaan.

two men playing chess
Senior citizen playing in the park.

Di Indonesia, menurut pengamatan saya, orang atau warga sini terkenal nggak bisa diem. Pensiun? Malah buka warung, jadi sopir online, atau sibuk di kegiatan RT dan RW.

Kadang jugabukan cuma soal duit, tapi juga urusan ‘ego’ ingin tetap dihormati dan eksistensi. “Kalau nggak ikut urusan dan batu kegiatan RT/RW, nanti nggak diajak ngobrol lagi,” kata tetangga saya.

Ada juga yang mengisi waktu dengan hobinya. Kayak beberapa orang yang habis pensiun malah sibuk merawat kebun atau jadi tukang servis barang elektronik, tukang bener-benerin fasilitas umum yang rusak di komplek.

Ancaman yang Mengintai

Pensiun seringkali dibayangkan sebagai masa tenang, penuh waktu luang, dan kebebasan setelah puluhan tahun bekerja. Tapi tak semua kisah pensiun adalah cerita yang menenangkan.

Ada sisi gelap yang saya dengar langsung dari orang-orang terdekat, sebuah pelajaran berharga yang ingin saya ingat baik-baik, untuk bekal nanti ketika giliran saya tiba.

Silhouetted people walk on a sunny, paved area.

Bagi sebagian orang, pensiun bisa memicu apa yang disebut Post Power Syndrome. Dulu berkuasa, disegani, terbiasa memberi perintah dan dipatuhi, lalu tiba-tiba semuanya hilang. Tidak ada lagi panggilan rapat, tidak ada laporan yang harus disetujui.

Hening. Sepi. Dan di saat seperti itu, datanglah mereka yang memanfaatkan celah.

Orang-orang dengan niat jahat biasanya mengincar para pensiunan yang masih linglung menghadapi perubahan hidup ini dan yang lebih penting, mereka tahu si pensiunan punya tabungan yang besar.

Dana pensiun yang seharusnya jadi bekal masa tua justru dijadikan sasaran empuk.

Saya mandapat banyak kisah nyata. Tentang penipuan yang menyaru sebagai tawaran bisnis. Dari investasi peternakan bebek, proyek perumahan, sampai trading forex dan saham yang menjanjikan “pasti untung”.

Bukannya untuk yang didapat, uang ratusan hingga milyaran rupiah menghilang seketika. Bukan mendapat kebahagiaan , malah dapat Stroke yang berujung kematian.

Semua dibungkus dengan presentasi meyakinkan dan janji manis. Tapi pada akhirnya, satu hal yang mereka incar, menguras rekening pensiunan.

Modusnya bisa berubah-ubah, tapi polanya nyaris selalu sama, membujuk orang yang sedang kehilangan arah, dan menanamkan harapan palsu atas “kesempatan kedua”.

Di tengah situasi rawan ini, kehadiran orang-orang terdekat sangatlah penting. Istri, suami, atau anak bisa menjadi jangkar yang menjaga agar kita tetap waras dan tidak mudah terombang-ambing.

Bukan hanya sebagai tempat curhat, tapi juga sebagai penjaga nalar, mengajak berpikir jernih, menanyakan ulang, bahkan ikut mengecek tawaran-tawaran yang datang.

Pendampingan keluarga bukan sekadar emosional, tapi juga bisa menjadi pagar pertama dari niat-niat buruk yang datang dari luar.

Bagian ini bukan untuk menakuti, tapi mengingatkan. Bahwa masa pensiun adalah masa rawan, bukan karena tubuh melemah, tapi karena banyak orang mengincar kelemahan emosional kita saat itu.

Kalau Saya Pensiun, Bakal Ngapain?

Saya sendiri kalau nanti pensiun, sepertinya nggak bakal jauh-jauh dari hobi sejak remaja, ngulik komputer, bikin aplikasi, sama ngoprek server.

Rasanya tangan gatel kalau nggak ngoprek kode aplikasi atau utak-atik server.

Buat saya, kerja itu bagian dari penyaluran talenta, kesenangan, bukan sekadar cari duit.

Jadi, walaupun pensiun, saya tetap ingin aktif di dunia teknologi. Bisa jadi konsultan, jalanin dan bantu proyek kecil, atau iseng bikin aplikasi yang siapa tahu viral (aminin dong!).

Kadang kepikiran juga membuat kanal YouTube atau menulis buku dalam bentuk digital, ngajarin anak muda supaya nggak stres atau melakukan kesalahan yang sama seperti gue waktu belajar ngoding dulu atau setup server untuk pertama kali.

Tapi nggak melulu soal teknologi. Saya juga punya mimpi, touring keliling Nusantara dan negara tetangga menggunakan moge.

a man riding a motorcycle down a street next to a forest
A man riding a motorcycle down a street next to a forest.

Sejak lama saya suka naik motor jarak jauh, dan sepertinya momen pensiun bakal jadi waktu yang pas buat menjelajah daerah-daerah yang belum pernah saya kunjungi, terutama ke Indonesia Timur dan Asia Tenggara.

Bayangin aja, berkendara di pegunungan Flores, menyususri pantai di Timor Leste atau menyusuri jalur peninggalan kolonial di Penang, Malaysia.

Bisa camping, ngopi sambil lihat bintang, atau sekadar ngobrol sama penduduk lokal.

Touring bukan cuma soal perjalanan, tapi juga soal pengalaman yang nggak bisa didapetin di kantor.

Peluang saya bisa menjalini itu semua ? pastinya banyak dan terbuka lebar. Intinya, homo faber banget, pensiun bukan alasan buat berhenti berkarya. Justru saatnya menikmati hidup sambil tetap produktif dengan cara yang disuka dan sesuai talenta.

Kamu sendiri udah kepikiran mau ngapain pas pensiun? Bisa jadi justru itu momen ‘panjenengan’ buat ngulik hobi yang selama ini tertunda.

Hidup itu bukan soal berapa lama kita kerja, tapi gimana kita menikmati setiap momennya.

Jadi… Mau jadi tim Pensiun Santai atau Tetap Aktif?

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.