Pada pertengahan bulan Juli 2022, sebuah posting di WhatsApp Group Gonzaga 8 menarik perhatian saya, biasanya posting hanya didominasi oleh notifikasi perayaan ulang tahun teman-teman di grup tersebut.
WhatsApp Group Gonzaga 8 adalah grup whatsapp yang ditujukan bagi alumni kolese gonzaga yang teridentifikasi sebagai angkatan 8, masuk tahun 1997 dan rata-rata lulus tiga tahun kemudian.
“Hi guys, ingat nggak hari ini tepat 25 tahun lalu kita masuk SMA Gonzaga?” begitulah kira-kira postingnya, agak lupa juga karena sudah tertimbun jadi arsip.
Tidak banyak yang menanggapi posting itu, atau mungkin hanya dianggap sebagai posting angin lalu dari seorang siswa yang kurang begitu populer dan seingat saya ia cukup sering menjadi korban perundungan di sekolah.
Ya, bahkan di Gonzaga saat itu, praktek ‘bully’ atau perundungan kerap terjadi dan dianggap menjadi hal yang keren. Menelanjangi orang, menyobek pakaian, mentertawakan teman yang tidak lulus dan perlakuan merendahkan lainnya.
Pada saat kuliah, walaupun agak telat, saya akhirnya mengerti bahwa itu adalah tindakan yang tercela, shame on me!
25 tahun adalah rentang waktu dimana biasanya terjadi perayaan, tidak hanya sekolah, pernikahan, pekerjaan, sering juga disebut dengan perayaan perak.
Ingatan kembali ke tahun 1994, ketika saya diterima di Kolese Gonzaga, setelah menimbang-nimbang pilihan antara SMA Theresia, Marsudirini dan Don Bosco.
Sekolah Katholik semua ya ? Hemmm iya.., walaupun saya lahir dan dibesarkan di keluarga muslim, untuk sekolah orang tua saya mati-matian memasukkan saya ke sekolah Katholik.
Berdasarkan dari cerita Alm Bokap yang juga alumni SMA Van Lith, pada saat itu sekolah Katholik memliki standar pendidikan yang lebih baik dari sekolah lainnya.
Disamping itu orang tua kami mengharapkan kami, tiga anaknya untuk memiliki pergaulan yang luas, variatif, dan tidak eksklusif.
Selepas lulus dari SMP Tararakanita 4 di Rawamangun, seorang teman bernama Ludwig mengajak untuk mengambil formulir pendaftaran di sebuah sekolah di kawasan Jakarta Selatan bernama Kolese Gonzaga.
Awalnya saya nggak pernah mendengar sama sekali nama sekalah ini, karena mungkin domisili saya di Jakarta Timur.
Pada saat pengumuman, bersyukur juga keterima di tiga sekolah Katholik, SMA Theresia, Marsudirini dan pastinya Gonzaga.
Dari ketiga sekolah tersebut, paling berat sebenarnya ujian masuk Theresia, saya berada di ranking yang tidak begitu bagus atau kurang kompetitif, sedangkan Kolese Gonzaga cukup mudah dibanding Theresia waktu itu.
Ketika akhirnya saya memilih Gonzaga sebenarnya bukan pada alasan akademik atau peringkat DIKTI dan sejenisnya, tetapi lebih pada kesan pertama ketika memasuki area parkir sekolah tersebut.
Pada saat itu, setelah gerbang utama Kolese Gonzaga kita akan memasuki area parkir yang masih banyak diselimuti oleh pepohonan yang rindang.
Dibandingkan SMA Theresia, Marsudirini dan Don Bosco, tiga sekolah ini mirip sepeti ‘penjara’ yang menyeramkan bagi saya saat itu.
“Wah pohonnya banyak banget ya, dibelakang kelasnya juga banyak pohon bambu yang rindang” pikirku dalam hati.
Pada artikel blog kali ini saya tidak ingin terlalu banyak membahas soal aspek pendidikan atau pengalaman di sekolah tersebut, saya hanya ingin berbagi sedikit satu atau dua refleksi saja setelah dua puluh lima tahun.
Posting WhatsApp grup tersebut tiba-tiba membawa saya bernostalgia ke masa lalu mengenai konsep “Man for Others”
Konsep “Man for others” ini begitu melekat diingatan saya ketika masa SMA tersebut.
Yah walaupun juga konsep tersebut pastinya jauh dari ideal, karena apa sih yang diharapkan dari anak-anak yang hidup ,sekolah dan gaul di Jakarta Selatan ?
Hello …..
Kalo ada yang berharap ada tokoh seperti Romo Mangun atau Romo Sandyawan, nggak usahlah berharap dari Jakarta, untuk itu mungkin Kolese DeBritto di Jogja masih punya ‘peluang’.
Konsep “Man for others”, paling nggak, secara sadar maupun bawah sadar mungkin telah menjadi faktor pengaruh dalam berbagai tindakan, keputusan atau nilai-nilai yang saya pegang kuat sampai saat ini.
Ya, ntahlah, seperti ketika saya memimpin sebuah team di kantor, saya bukanlah tipe ideal bagi pemilik saham, board of management atau top level management, karena prilaku leadership saya lebih berat ke team member.
Hahahaha ….
Setelah pikiran melayang ke masa lalu, kemudian saya membuka situs Kolese Gonzaga, ingin tahu saja sekarang titik beratnya ada dimana.
Dan Wow… wow.. wow…. ternyata titik beratnya Manusia Unggul!
Yah ini mungkin memang pilihan yang harus diambil agar sekolah ini bisa kompetitif di era saat ini, dengan mencipatakan manusia ‘super’, wuehehehe ….
“Menjadi Pribadi Yang Unggul (Human Excellence):
Men And Women Of Competence, Conscience, Compassion, And Commitment; Honest And Simple“
Sekolah SMA Katholik tetap aja ‘sadis’ banget ….
Untuk yang satu ini, mungkin saya berbeda, saat ini dengan pengalaman hidup lulus SMA selama 25 tahun, buat saya yang dibutuhkan bukan manusia super, tetapi setiap individu manusia harus menemukan perannya dahulu sesuai talenta dan rencana hidup Sang Khalik untuknya.
Selamat 25 tahun Angkatan 8 Kolese Gonzaga, sehat dan bahagia selalu.
Pingback: Berapa Biaya Masuk Kolese Gonzaga, Kanisius, DeBritto, Sedes dan Theresia ? | diditho.com