Berfoto dengan tokoh masyarakat, atlet sepak bola, atau bahkan presiden sudah menjadi pemandangan yang sangat lazim. Di berbagai acara, baik publik maupun pribadi, orang sering kali merasa perlu mengabadikan momen bersama figur-figur yang mereka anggap penting.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: mengapa orang begitu bersemangat mengambil foto dengan figur publik?
Apakah hanya sekadar kenang-kenangan atau ada lapisan psikologis dan sosiologis yang lebih dalam?
Makna dibalik Foto dengan Figur Publik
Salah satu alasan utama mengapa banyak orang ingin berfoto dengan figur terkenal adalah status sosial. Di dunia yang semakin terhubung dan visual, memiliki foto dengan seseorang yang berpengaruh dapat memperkuat kesan bahwa kita memiliki kedekatan atau akses ke orang-orang penting.
Ini bukan hanya soal kebanggaan pribadi, tetapi juga cara untuk memperkuat posisi kita di mata orang lain.Teori dari Pierre Bourdieu mengenai modal sosial menjelaskan bagaimana hubungan sosial dapat memperkuat status seseorang dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, foto bersama tokoh masyarakat, atlet, atau bahkan presiden menjadi simbol hubungan sosial yang meningkatkan posisi seseorang dalam lingkungannya.
Selain itu, ada aspek identitas sosial yang tak kalah penting. Bayangkan seorang penggemar sepak bola yang berhasil berfoto dengan idolanya, Lionel Messi.
Bagi si penggemar, foto tersebut tidak hanya menjadi simbol kedekatan fisik, tetapi juga cara menegaskan identitasnya sebagai bagian dari komunitas besar penggemar sepak bola di seluruh dunia.
Teori Identitas Sosial yang dikemukakan oleh Henri Tajfel menjelaskan bagaimana individu mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu untuk memperkuat rasa percaya diri individu tersebut.
Melalui foto tersebut, seseorang menyampaikan kepada orang lain bahwa dirinya adalah bagian dari subkultur yang lebih besar dan berprestasi.
Fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui konsep efek halo, yang dikemukakan oleh Edward Thorndike. Ketika kita berfoto dengan seseorang yang berpengaruh, seperti presiden atau tokoh masyarakat, kualitas positif dari mereka seolah-olah “menular” kepada kita.
Sebuah foto dengan presiden, misalnya, bisa memberikan kesan bahwa kita memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan pengaruh, meskipun kenyataannya mungkin hanya sebatas pertemuan singkat.
Ini adalah salah satu cara kita memproyeksikan citra diri yang lebih baik kepada orang lain.
Peran Media Sosial dan FOMO
Tidak bisa dipungkiri, media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena ini. Di era di mana FOMO (Fear of Missing Out) menguasai kehidupan banyak orang, dokumentasi momen berharga menjadi sesuatu yang sangat penting.
Orang merasa perlu membagikan momen ketika mereka berhasil bertemu tokoh masyarakat, atlet, atau presiden sebagai bagian dari narasi pribadi mereka.
Beberapa studi menunjukkan bahwa FOMO sangat memengaruhi perilaku pengguna media sosial dan sering kali mendorong mereka untuk mendokumentasikan momen-momen yang memperkuat citra diri di dunia maya.
Dalam konteks ini, foto-foto bersama figur publik menjadi simbol bahwa seseorang “terlibat” dalam momen yang jarang terjadi dan istimewa.
Namun, alasan lain yang tidak kalah kuat adalah kenangan emosional. Bertemu dengan figur yang dihormati atau dikagumi tentu menjadi momen yang penuh emosi.
Momen emosional cenderung lebih mudah diingat dan lebih bermakna ketika didokumentasikan dalam foto.
Melihat kembali foto bersama tokoh masyarakat atau atlet yang kita idolakan membawa kembali perasaan bangga, bahagia, dan mengingatkan kita pada pengalaman tak terlupakan yang tak akan terulang.
Sisi Gelap dibalik Foto dengan Figur Publik
Di balik semua kilauan positif ini, ada sisi gelap yang juga perlu disadari. Salah satu dampak negatif terbesar dari fenomena ini adalah munculnya kecanduan validasi sosial.
Di dunia digital saat ini, di mana like dan komentar menjadi ukuran kesuksesan, banyak orang terjebak dalam siklus mencari pengakuan sosial.
Foto bersama tokoh masyarakat, atlet, atau presiden sering kali digunakan sebagai alat cepat untuk mendapatkan validasi tersebut.
Sayangnya, pencarian terus-menerus untuk diakui oleh orang lain bisa berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang.
Penelitian oleh American Psychological Association (2017) menunjukkan bahwa kecanduan validasi sosial dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.
Selain itu, ada juga fenomena pengaburan realitas. Foto bersama figur publik sering kali digunakan untuk menciptakan narasi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan.
Seseorang mungkin berfoto dengan presiden dan mengklaim memiliki hubungan dekat, padahal kenyataannya hanya sebuah pertemuan singkat di acara umum.
Pengaburan realitas semacam ini bisa menipu orang lain dan menciptakan persepsi yang salah tentang status atau hubungan seseorang. Tidak jarang, hal ini bisa merusak hubungan pribadi maupun profesional, karena orang lain mulai meragukan kejujuran dan integritas kita.
Aspek negatif lainnya yang perlu diwaspadai adalah menurunnya nilai asli dari pengalaman. Ketika fokus utama seseorang adalah mendapatkan foto sempurna, pengalaman berharga yang seharusnya memiliki nilai lebih justru diabaikan.
Misalnya, dalam konteks pertemuan dengan tokoh masyarakat, orang mungkin lebih sibuk memikirkan bagaimana caranya mendapatkan foto terbaik daripada benar-benar mendengarkan pesan atau nasihat yang disampaikan.
Akibatnya, esensi dari pertemuan tersebut menjadi hilang, dan yang tersisa hanyalah gambar tanpa makna yang mendalam.
Selain itu, ada risiko terjadinya komodifikasi figur publik. Figur-figur terkenal mulai dilihat sebagai “alat” untuk meningkatkan citra sosial, bukan lagi sebagai individu dengan nilai dan pesan yang mereka sampaikan.
Atlet sepak bola, misalnya, lebih sering diperlakukan sebagai objek untuk mendapatkan foto ketimbang dihargai atas prestasi dan kerja keras mereka.
Ini menurunkan kualitas hubungan kita dengan figur publik, yang seharusnya lebih menghargai nilai-nilai yang mereka bawa daripada hanya memanfaatkan mereka untuk meningkatkan status kita.
Tidak hanya itu, fenomena ini juga menciptakan tekanan sosial yang tidak sehat. Ketika seseorang berhasil berfoto dengan presiden atau tokoh terkenal lainnya, lingkungan sosial mereka mungkin merasakan tekanan untuk melakukan hal yang sama.
Orang-orang di sekitar mereka mungkin merasa kurang berharga atau tertinggal jika mereka tidak memiliki kesempatan serupa.
Ini menciptakan persaingan sosial yang tidak sehat, di mana orang merasa harus mengejar momen serupa hanya untuk tetap relevan di mata lingkungan sosialnya.
Sisi Positif dan Negatif dari Fenomena Ini
Berfoto dengan tokoh masyarakat, atlet sepak bola, atau presiden memang bisa menjadi pengalaman yang membanggakan dan penuh kenangan. Namun, penting untuk diingat bahwa fenomena ini juga memiliki sisi negatif yang tidak bisa diabaikan.
Kecanduan validasi sosial, pengaburan realitas, dan komodifikasi figur publik adalah beberapa dampak negatif yang perlu kita sadari.
Pada akhirnya, memahami kedua sisi dari fenomena ini membantu kita lebih bijak dalam menyikapi momen-momen berharga tersebut.
Alih-alih terjebak dalam pencarian pengakuan sosial semata, kita seharusnya lebih fokus pada nilai dan makna mendalam dari pertemuan dengan figur publik yang kita kagumi.
Momen berharga tidak hanya diukur dari seberapa banyak orang yang melihat foto kita, tetapi dari pengalaman yang kita rasakan dan pelajaran yang kita ambil dari pertemuan itu.