Kalau kamu pernah dengar nama Gonzaga dan langsung terbayang anak-anak SMA Jaksel yang pinter ngomong, jago main basket, atau bisa debat sambil ngopi di Filosofi Kopi, ya… kamu nggak salah.

Kolese Gonzaga memang punya reputasi sebagai sekolah Katolik Jesuit yang melahirkan banyak tokoh keren, meski sebenarnya, dulunya dia “cuma” cabang.

Iya, sebelum jadi sekolah sendiri pada tahun 1987, Gonzaga itu dikenal sebagai Kanisius Unit Selatan, semacam adik kandung dari Kolese Kanisius yang sekarang udah berdiri dengan percaya diri di Pejaten Barat 10A, Jakarta Selatan.

Kolese Kanisius sendiri adalah tempat bercokolnya para elite Orde Baru zaman dulu. Banyak alumninya yang jadi menteri, ekonom, bahkan tokoh nasional. Dari J.B. Sumarlin sampai Kwik Kian Gie, dari akademisi serius sampai pemegang kendali ekonomi negara.

Bisa dibilang, Kanisius adalah tempat para orang tua ambisius menitipkan harapan agar anaknya tumbuh jadi “orang penting.” Dan ketika Gonzaga berdiri sendiri, dia tetap mewarisi semangat Jesuit dari Kolese Kanisius, hanya dengan gaya yang lebih santai dan nyeni.

Makanya nggak heran kalau alumni-alumninya juga punya warna tersendiri. Salah satunya Pandji Pragiwaksono, yang perjalanan kariernya dimulai bukan dari panggung politik atau layar stand-up, tapi dari balik mic studio radio.

Pandji speaks to masses in ‘Juru Bicara’. – The Jakarta Post

Tahun 2001, dia jadi penyiar di Hard Rock FM, bawain acara musik yang belakangan malah bikin dia jatuh cinta sama industri hiburan.

Dari situ, dia nyemplung ke dunia hip-hop, ngerap dengan lirik-lirik kritis, sampai akhirnya jadi salah satu pelopor stand-up comedy modern Indonesia.

Orang boleh bilang dia cerewet, tapi argumen dan idealismenya bikin banyak orang mikir ulang soal toleransi, nasionalisme, dan cara kita memandang Indonesia hari ini.

Tak semua langkah Pandji berjalan tanpa riak. Salah satu fase paling ramai dalam perjalanannya adalah ketika ia mendukung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Ditengah atmosfer politik identitas yang menegang saat itu, pilihannya memicu reaksi dari publik, rekan komunitas dan pastinya bergagai alumni angkatan Kolese Gonzaga!

Banyak yang mempertanyakan konsistensinya, terutama karena ia dikenal sebagai sosok yang vokal soal keberagaman dan toleransi. Namun, Pandji sendiri pernah menjelaskan bahwa pilihannya berbasis keyakinan pribadi, bukan sentimen sektarian.

Lalu ada Rudy Soedjarwo, sutradara kawakan yang bikin generasi 2000-an percaya bahwa cinta bisa ditemukan di perpustakaan lewat film Ada Apa Dengan Cinta?.

Rudi Soedjarwo (Deki Prayoga/bintang.com)

Film itu dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra, dan jadi tonggak kebangkitan film Indonesia era milenium. Yang nggak banyak orang tahu (kecuali alumni dan fans garis keras), setting film itu ternyata mengambil lokasi di Kolese Gonzaga sendiri.

Jadi bisa dibilang, lewat tangan Rudy, nama Gonzaga ikut naik daun bersama kisah Rangga dan Cinta yang bikin satu generasi susah move on.

Dari situlah, Gonzaga mulai dikenali bukan cuma di kalangan sekolah Katolik, tapi juga oleh jutaan penonton bioskop yang baru tahu kalau cinta SMA bisa se-epik itu.

Dan jangan lupakan Gege (Abigail Manurung),  karena gaya berbicarannya yang unik, terutama ketika mengucapkan kata-kata bercanda menjadi bercyanda.

ESPOS.ID – Abigail Manurung atau Gege yang viral karena ngomong bercyanda. (Youtube/Danang Giri Sadewa)

Hal ini berawal dari video di kanal Youtube Danang Giri Sadewa yang mewawancarai mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (maba UGM), salah satunya Abigail Manurung.

Di video tersebut, Abigail Manurung mengaku masuk ke UGM karena hoki dan pintar. Ia bercerita bisa menjadi mahasiswa UGM lewat seleksi jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). “Jalur hoki betul, karena pintar ajaBercyanda bercyanda,” ucap Abigail.

Kata-kata bercyanda yang diucapkan Abigail Manurung ini kemudian menjadi viral di media sosial, terutama TikTok. Bahkan, di TikTok terdapat sound dengan kata-kata tersebut.

Tapi, tentu saja, jadi alumni Gonzaga bukan berarti otomatis hidupmu bakal kayak drama Netflix. Sebaliknya, banyak juga orang yang justru bersinar dari sekolah-sekolah yang namanya jarang masuk headline.

Nggak semua keberhasilan itu hasil dari masa remaja yang penuh seminar motivasi atau pelatihan debat.

Kadang justru hidup ngajarin lebih banyak lewat pengalaman tak terduga, ditolak kerja, bangkrut, kena mental, lalu bangkit lagi. Karena ya begitulah makna kesuksesan sebenarnya, bukan cuma soal titel, tapi tentang perjalanan.

Jadi kalau kamu hari ini ngerasa SMA kamu biasa aja, jangan minder. Terkenal atau tidak, sukses atau belum, semua itu cuma bagian kecil dari kisah yang lebih besar.

Pandji bisa sukses bukan cuma karena Gonzaga-nya, tapi karena dia terus konsisten ngejar apa yang dia yakini.

Rudy bisa bikin film keren bukan karena dulu sering ikut retreat, tapi karena dia peka terhadap cerita manusia.

Dan Gege bisa bersinar karena kerja keras dan proses panjang , belajar, masuk UGM dan bercyandaaa ….. Karena ya gitu, sukses itu proses, bukan warisan almamater.

Santai aja. Nggak perlu buru-buru jadi hebat. Kadang yang kita butuhin cuma kopi enak, obrolan jujur, dan waktu buat mengenal diri sendiri, karena hidup harus nyicil.

Selebihnya? Biar semesta yang atur. Toh, siapa tahu kamu juga sebenarnya lulusan sekolah kehidupan yang jauh lebih keren dari apa pun yang tertulis di ijazah.

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.