Dalam dunia yang terus berubah setelah berakhirnya Perang Dingin, banyak orang yang bertanya-tanya, “Apa yang akan menjadi sumber konflik besar berikutnya?” Samuel P. Huntington mencoba menjawab pertanyaan itu dalam bukunya yang kontroversial namun berpengaruh, Clash of Civilizations.
Samuel P. Huntington adalah seorang ilmuwan politik Amerika yang dikenal luas karena teorinya tentang benturan peradaban yang dia jelaskan dalam bukunya.”The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” (1996).
Buku ini sering dilihat sebagai tanggapan atas tesis Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of History and the Last Man” (1992).
Fukuyama berpendapat bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin, liberalisme demokratis Barat telah menang, dan sejarah sebagai proses perjuangan ideologis besar telah mencapai akhirnya. Dengan kata lain, Fukuyama melihat masa depan sebagai kemenangan nilai-nilai Barat yang akan diterima secara universal.
Namun, Huntington tidak setuju dengan optimisme Fukuyama.
Dalam “Clash of Civilizations,” Huntington berargumen bahwa dunia tidak menuju ke arah harmonisasi ideologi, tetapi sebaliknya, menuju konflik yang lebih intens antara peradaban yang berbeda, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kemenangan satu ideologi global.
Huntington punya pandangan yang berbeda dari para pemikir lain pada masanya. Alih-alih berfokus pada politik atau ekonomi, dia menekankan bahwa konflik di masa depan akan lebih banyak berkaitan dengan perbedaan budaya dan peradaban.
Huntington melihat peradaban sebagai kelompok budaya besar yang dibentuk oleh sejarah, bahasa, tradisi, dan terutama agama.
Baginya, dunia ini bisa dibagi menjadi delapan peradaban utama yang akan memainkan peran penting dalam konflik masa depan.
Peradaban Barat mencakup Amerika Utara dan Eropa Barat, yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Kristen dan nilai-nilai demokrasi. Peradaban Konfusian berpusat di Tiongkok dan negara-negara Asia Timur yang dipengaruhi oleh ajaran Konfusius.
Meski kadang dianggap sebagai bagian dari peradaban Konfusian, Jepang diperlakukan Huntington sebagai peradaban tersendiri karena karakteristik uniknya.
Selain itu, ada juga peradaban Islam, yang mencakup negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Asia Selatan dan Tenggara. Peradaban Hindu berpusat di India dan sangat dipengaruhi oleh agama Hindu serta budaya yang berkembang di sekitarnya.
Huntington juga melihat Rusia dan negara-negara Eropa Timur yang mengikuti tradisi Gereja Ortodoks sebagai peradaban tersendiri. Di Amerika Latin, meskipun berbagi beberapa elemen dengan Barat, terdapat identitas budaya yang cukup berbeda untuk dianggap sebagai peradaban sendiri.
Terakhir, Afrika Sub-Sahara berkembang dengan identitas dan dinamika budaya yang unik, yang juga dianggap Huntington sebagai peradaban tersendiri.
Huntington berpendapat bahwa setelah Perang Dingin, dunia tidak lagi dibagi berdasarkan ideologi seperti kapitalisme versus komunisme.
Sebaliknya, garis pemisah baru adalah peradaban.
Dia mengamati bahwa peradaban-peradaban ini memiliki perbedaan mendasar dalam nilai, norma, dan pandangan hidup yang dapat memicu konflik. Sebagai contoh, nilai-nilai demokrasi liberal yang dianut oleh peradaban Barat sering kali berbenturan dengan nilai-nilai tradisional dalam peradaban Islam atau Konfusian.
Huntington juga mengingatkan bahwa globalisasi, meskipun membawa berbagai budaya lebih dekat satu sama lain, tidak selalu mengarah pada harmoni. Justru, globalisasi bisa memperkuat identitas budaya dan membuat perbedaan antarperadaban semakin jelas.
Saat peradaban yang berbeda berinteraksi lebih intensif, potensi untuk terjadi benturan pun semakin besar. Dia memandang bahwa konflik besar akan terjadi di “garis retakan” antara peradaban-peradaban ini.
Sebagai contoh, ketegangan antara dunia Barat dan Islam yang telah lama terjadi, atau persaingan yang mungkin muncul antara Barat dan Tiongkok yang semakin kuat.
Namun, Huntington tidak selalu pesimis soal masa depan.
Dia juga berbicara tentang potensi negosiasi dan kerjasama di antara peradaban. Menurutnya, peradaban Barat harus lebih memahami perbedaan budaya yang ada di dunia dan berhenti memaksakan nilai-nilai mereka ke peradaban lain.
Dengan cara ini, konflik bisa dihindari atau setidaknya diredam. Huntington memberikan saran penting bagi negara-negara Barat, yang menurutnya harus lebih introspektif dalam menghadapi dunia yang semakin plural.
Dia percaya bahwa upaya untuk menyebarkan nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia dapat menjadi bumerang jika tidak dilakukan dengan sensitif terhadap perbedaan budaya.
Sebaliknya, Barat harus memperkuat identitas budayanya sendiri dan mengakui bahwa tidak semua peradaban akan atau harus mengikuti jejak mereka.
Namun, pandangan Huntington tidak luput dari kritik. Banyak yang menuduh bahwa Clash of Civilizations terlalu menyederhanakan kompleksitas hubungan internasional.
Dunia tidak hanya terdiri dari peradaban-peradaban besar yang saling bertabrakan; ada banyak faktor lain yang memengaruhi hubungan antarnegara dan kelompok, termasuk ekonomi, politik, dan isu-isu lingkungan.
Mengabaikan faktor-faktor ini membuat analisis Huntington tampak reduksionis dan tidak memadai untuk menjelaskan dinamika global yang kompleks.
Kritikus lainnya berpendapat bahwa Huntington terlalu deterministik dalam pandangannya tentang budaya.
Dia seolah-olah menyatakan bahwa budaya dan peradaban adalah faktor-faktor yang tak dapat diubah dan pasti akan memicu konflik. Padahal, budaya adalah sesuatu yang dinamis dan terus berubah seiring waktu.
Banyak contoh dalam sejarah menunjukkan bahwa peradaban yang berbeda dapat beradaptasi, berinteraksi, dan bahkan menyatu dalam cara yang damai.
Huntington juga dikritik karena terlalu fokus pada konflik antarperadaban dan mengabaikan konflik internal dalam peradaban itu sendiri.
Misalnya, dalam dunia Islam, ada perpecahan yang mendalam antara Sunni dan Syiah, atau di dunia Barat, ada ketegangan yang meningkat antara kelompok-kelompok yang berbeda secara ideologis dan ekonomi.
Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa benturan tidak hanya terjadi di antara peradaban, tetapi juga di dalamnya.
Salah satu kritik paling tajam terhadap Clash of Civilizations adalah bahwa buku ini berkontribusi pada stigmatisasi peradaban Islam dan memicu sentimen Islamofobia.
Dengan menyoroti potensi konflik antara dunia Barat dan Islam, Huntington dianggap memperkuat stereotip negatif tentang Muslim dan mengesampingkan banyak contoh kerjasama dan perdamaian antara Barat dan dunia Islam.
Ini dapat memperburuk ketegangan dan memperdalam prasangka di antara kelompok-kelompok ini.
Di era globalisasi, banyak yang percaya bahwa dunia semakin terhubung dan perbedaan budaya cenderung memudar, bukan semakin tajam.
Huntington dianggap mengabaikan potensi positif dari globalisasi, seperti peningkatan dialog antarbudaya, perdagangan internasional yang lebih kuat, dan mobilitas manusia yang lebih tinggi, yang bisa menjadi jembatan antara peradaban daripada sumber konflik.
Huntington juga dituduh membuat generalisasi berlebihan tentang peradaban yang berbeda, melihatnya sebagai entitas monolitik, padahal setiap peradaban sangat beragam di dalam dirinya sendiri.
Kritik-kritik ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat bagaimana konflik-konflik kontemporer seringkali lebih rumit daripada sekadar benturan peradaban.
Misalnya, perang di Suriah melibatkan berbagai aktor dengan motif yang jauh melampaui sekadar konflik budaya atau peradaban.
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok juga lebih banyak dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan geopolitik daripada perbedaan budaya murni.
Globalisasi telah membawa berbagai budaya lebih dekat satu sama lain, menciptakan ruang untuk interaksi positif dan pertukaran budaya.
Teknologi dan media sosial telah memungkinkan orang dari berbagai belahan dunia untuk berkomunikasi dan saling memahami dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ini menunjukkan bahwa ada lebih banyak peluang untuk kerjasama antarperadaban daripada yang diakui oleh Huntington.
Konflik imigran di Eropa adalah contoh nyata dari bagaimana teori Huntington bisa diperdebatkan. Masuknya jutaan imigran dan pengungsi, terutama dari negara-negara Muslim, telah memicu ketegangan di banyak negara Eropa.
Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa perbedaan budaya yang signifikan dapat menyebabkan benturan antara masyarakat imigran dan masyarakat lokal, seperti yang diprediksi Huntington.
Namun, kritik terhadap pandangan ini menyoroti bahwa banyak ketegangan ini sebenarnya lebih terkait dengan faktor ekonomi dan kebijakan integrasi yang tidak efektif, daripada perbedaan budaya atau peradaban semata.
Negara-negara yang berhasil dalam integrasi sering kali melihat bahwa perbedaan budaya dapat diperkaya dan tidak harus menjadi sumber konflik.
Selain itu, penyebaran radikalisme berbasis agama, baik dalam bentuk ekstremisme Islam maupun kebangkitan kelompok nasionalis ekstrem di Barat, menunjukkan sisi lain dari kritik terhadap Huntington.
Radikalisme agama bisa dilihat sebagai reaksi terhadap modernisasi dan globalisasi, yang banyak dikritik Huntington sebagai pemicu konflik antarperadaban.
Namun, radikalisme ini juga seringkali dipicu oleh faktor-faktor politik dan ekonomi, serta kebijakan luar negeri yang kontroversial, daripada oleh benturan peradaban yang murni.
Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa akar masalah sering kali lebih kompleks dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan perbedaan peradaban.
Pada akhirnya, Clash of Civilizations adalah sebuah tantangan intelektual bagi kita semua.
Huntington menantang kita untuk mempertimbangkan apakah perbedaan peradaban memang akan menjadi sumber utama konflik di masa depan, atau apakah kita dapat menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan lebih harmonis.
Dalam dunia yang semakin terhubung namun juga terpecah-pecah ini, pemikiran Huntington memberikan wawasan tentang bagaimana kita bisa memahami dan mungkin mengelola perbedaan-perbedaan ini, sekaligus membuka ruang bagi dialog yang lebih mendalam dan produktif.