Saya membuat tulisan ini karena beberapa tahun lalu saya membaca artikel di TIME berjudul “9 Ways Mentally Strong People Bounce Back from a Crisis” karya Amy Morin.

Waktu itu, saya hanya sempat membuat draf dan menyimpannya begitu saja. Tapi belakangan ini, saat kembali melihatnya, saya merasa tulisan ini justru semakin relevan.

Mungkin bukan hanya untuk saya, tapi juga untuk banyak orang yang sedang mencari pegangan di tengah masa sulit.

Dalam hidup, hampir setiap orang akan menghadapi krisis. Bisa jadi kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, ditinggal orang tercinta, atau sekadar kehilangan arah dalam hidup.

Tapi yang membedakan satu orang dengan yang lain bukanlah jenis krisisnya, melainkan cara mereka menghadapinya.

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa orang-orang yang kuat secara mental tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga mampu bangkit dan bertumbuh dari krisis.

Ini bukan tentang menjadi sempurna atau selalu tenang, melainkan tentang punya strategi sehat untuk pulih secara mental dan emosional.

Hal pertama yang mereka (orang-orang tersebut) lakukan adalah memusatkan perhatian pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan.

Saat badai datang, mereka tidak membuang energi dengan mengeluh soal cuaca. Sebaliknya, mereka fokus mengatur arah perahu dan tetap menjaga keseimbangan.

Dalam hidup, ini berarti memilih respons, menjaga sikap, dan mengambil keputusan sadar di tengah kekacauan.

Pendekatan ini diperkuat oleh studi dari BMC Nursing yang menunjukkan hubungan positif antara ketahanan, fokus internal, dan kesejahteraan psikologis (BMC Nursing, 2021).

Orang-orang tangguh juga meluangkan waktu untuk merenung. Mereka tidak menutupi rasa sakit atau berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mereka bertanya, apa yang bisa saya pelajari dari pengalaman ini? Dari kegagalan, kekecewaan, dan luka, mereka menggali makna.

Refleksi semacam ini tidak selalu mudah, tapi di sanalah tumbuhnya kebijaksanaan.

Ketika sudah menemukan kejelasan, mereka bergerak. Mereka tidak terjebak dalam keraguan yang tak berujung. Mereka mengambil tindakan, meski kecil, meski pelan.

Karena bagi mereka, bergerak lebih baik daripada diam dalam ketakutan.

Yang menarik, di tengah krisis sekalipun, mereka tetap berlatih bersyukur. Ini bukan soal mengabaikan rasa sakit, melainkan memilih untuk juga melihat hal-hal yang masih bisa dihargai.

Rasa syukur ini bukan pelarian, tapi jangkar yang menjaga mereka tetap terhubung dengan hal-hal baik dalam hidup. Rasa syukur telah terbukti dalam berbagai riset mampu meningkatkan kesehatan mental dan memperkuat sistem imun tubuh.

Krisis seringkali membuka pintu baru yang tak terduga. Orang-orang tangguh melihat peluang dari keruntuhan.

Mereka bertanya: apakah ini saatnya mencoba jalan baru? Menemukan bakat baru? Atau menata ulang hidup agar lebih sejalan dengan nilai-nilai mereka?

Karena bagi mereka, krisis bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang mungkin lebih baik.

Dalam proses ini, mereka juga mengevaluasi kembali prioritas. Mereka menyadari bahwa tidak semua hal layak diperjuangkan.

Tidak semua orang perlu dijaga. Dan tidak semua keinginan harus diwujudkan. Ada penyederhanaan yang terjadi, dan dari situ lahir ketenangan.

Kepercayaan pada diri sendiri adalah fondasi yang mereka jaga.

Orang-orang tangguh punya keyakinan bahwa mereka akan bisa melewati ini, karena mereka sudah pernah melewati badai lain sebelumnya.

Kekuatan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi dibentuk dari kebiasaan mencintai dan memahami diri sendiri.

Tentu saja, mereka tidak lupa merawat diri. Tidur yang cukup, makan yang baik, dan olahraga jadi bagian penting dari pemulihan. Mereka tahu bahwa tubuh yang sehat akan membantu pikiran tetap jernih.

Penelitian juga menunjukkan bahwa mindfulness dan perawatan diri seperti olahraga dan tidur cukup memiliki efek positif dalam menurunkan tingkat stres kronis (Wikipedia – Mindfulness-based stress reduction).

Dan yang terakhir, mereka menjaga fleksibilitas psikologis. Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Orang tangguh bisa menyesuaikan pikiran dan perilaku mereka ketika keadaan berubah. Mereka tidak kaku, tidak keras kepala.

Mereka lentur, tapi tidak patah. Ini diperkuat oleh riset di jurnal PubMed Central yang menyatakan bahwa dukungan sosial dan fleksibilitas psikologis memperkuat ketahanan terhadap stres (PMC2921311).

Kita di Indonesia sering kali diajarkan untuk kuat dengan cara diam dan bertahan. Padahal, ketangguhan sejati justru terlihat dari kemampuan untuk menghadapi, merenung, dan tumbuh.

Dalam budaya kita, ada pepatah Jawa yang berbunyi, “gesang kedah kiyat nampi sedaya kawontenan.” Hidup itu harus kuat menerima segala keadaan. Tapi, menerima bukan berarti menyerah, melainkan memahami, memproses, dan kemudian bergerak maju dengan cara yang bijaksana.

Dalam banyak cerita rakyat dan tradisi lokal, seperti kisah Jaka Tarub atau Bawang Merah Bawang Putih, kita selalu disuguhkan tokoh-tokoh yang mampu bertahan dari penderitaan, tapi tetap menjaga hati dan keluhuran budi.

Itu menunjukkan bahwa ketangguhan dalam budaya kita bukan hanya tentang fisik, tapi tentang kesabaran, ketekunan, dan kebeningan niat.

Tidak ada satu pun dari sembilan cara di atas yang instan. Tapi satu langkah kecil saja, mulai hari ini, bisa jadi pembuka jalan menuju versi diri yang lebih tangguh dan damai.

Kalau kamu sedang berada di masa sulit, percayalah, kamu tidak sendirian. Kita semua pernah ada di titik itu. Yang penting bukan seberapa cepat kamu bangkit, tapi seberapa jujur kamu menghadapi prosesnya.

Pelan-pelan saja, asal terus jalan. Dan kalau merasa lelah, tidak apa-apa berhenti sebentar, asal jangan menyerah. Kamu layak untuk pulih, dan kamu mampu untuk tumbuh.

Referensi:

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.