Sebulan terakhir ini, ada beberapa kalimat dari berbagai orang yang sering sekali ditanyakan kepada saya. Entah itu rekan kerja di unit sendiri, unit lain dan orang-orang yang sudah lama tidak ketemu. Tiap kali pertanyaan (kalimat) tersebut terlontar, tiap kali pula saya harus menjelaskan panjang lebar untuk meyakinkan orang tersebut…
Dit, kenapa loh? sakit ?
Dit, kurus amat? kena gula?
Dit, koq tambah kurus dan item?
Dit, terlalu kurus lo.. nggak pas buat loh.
Dit, cepat amat kurus .. nggak sehat loh.
Dit, pake obat apaan loh..?
Dit, diet ketat ya?
Dit, Baju lo kedodoran tuh…
Dit, istri lo nggak ngasih makan?
… dan pertanyaan serupa lainnya
Pada bulan Desember 2006, saya terkena penyakit Hepatitis A. Jenis Hepatitis yang bisa menjangkiti semua orang dan bisa disembuhkan, biasa disebut penyakit kuning. Setelah 2 minggu dalam perawatan intensif (opname) dokter gejala penyakit tersebut telah sirna, Tetapi tetap saja indikator laboratorium untuk fungsi hati (hepar) yaitu SGOT dan SGPT menunjukkan angka diluar normal.
Setelah melalui diagnosa dokter dan tes lab, hal ini disebabkan karena tingginya kadar kolesterol dalam tubuh saya. Kadar yang tinggi tersebut mangakibatkan fungsi hati saya bekerja diluar batas yang normal.
Dokter menyarankan(baca:mengharuskan) saya untuk banyak makan sayuran dan berolahraga… dengan kata lain…lose your weight… Sang dokter tidak menyarankan untuk mengurangi makan, hanya menganjurkan untuk mengubah pola hidup saja… Hemm easy to say, difficult to understand and hard to do ..
Takut akan vonis yang lebih buruk. Hari berikutnya saya langsung melakukan aktifitas jogging 3x seminggu selama 30 menit dan mengubah pola makan (baca:bukan mengurangi, tetap 3x sehari). Mengubah pola makan artinya jarang makan gorengan, banyak sayuran, banyak ikan, sedikit daging sapi/ayam, makan malam dibawah jam 8 dan makan enak hanya pada hari sabtu dan minggu.
Dalam dua minggu saya tidak menemukan masalah dalam pola makan yang baru,karena hanya mengurangi daging sapi dan ayam saja. Masalah utama ada pada aktifitas olahraga, saya sudah mulai bosan untuk jogging. Selain monoton, kadang saya harus melakukannya jam 9 malam!, hal ini karena seringnya saya lembur di kantor. Saat itu saya berpikir keras untuk mencari olahraga yang tidak membosankan….
Tidak lama berselang, saya ketemu denga Mas Purwoko dan saat itu juga saya ingat kalau iya sering bersepeda di kantor. Setelah beberapa kali konsultasi akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepeda gunung. Keputusan itu menurut saya sangat riskan, karena harga sepeda gunung sangat mahal, bila aktifitas bersepeda tersebut hanya hangat-hangat tahi ayam bisa menyesal kemudian.
Minggu pertama sampai sebulan, aktifitas bersepeda saya lakukan pada malam hari, rata-rata diatas jam 9 malam. Seperti orang bodoh saja keliling komplek malam hari. Aktifitas ini saya lakukan 3x seminggu selama 30 menit. Satu bulan kemudian saya menjalani tes kolesterol dan fungsi hati…
Mengesankan…. dalam waktu satu bulan setengah, indikator kolesterol saya sudah dibawah 200 begitu pula dengan indikator hati (SGOT+SGPT) sudah normal. Kondisi ini saya capai hanya dengan bersepeda dan sedikit mengubah pola makan.
Merasa program hidup sehat sudah pada jalur yang benar saya mulai berpikir bagaimana cara mempertahankannya. Seperti kata para guru, mempertahankan itu lebih sulit dari mencapainya.
Saya suka makan jadi sebisa mungkin saya tidak ingin mengganggu “aktifitas” tersebut, cukup dengan mengurangi menu daging sapi + ayam saja sudah cukup. Terpenting, harus meningkatkan dan mempertahankan ritme bersepeda. Lagi pula saya mulai kecanduan dengan olahraga modal dengkul ini.
Akhirnya bersepeda malam hari di komplek saya ganti dengan bersepeda hari sabtu saja. Walaupun satu hari perminggu, sudah lebih dari cukup, karena medan yang saya lalui lumayan berat.
Beruntung sekali saya memilih lokasi rumah di cibinong, karena tepat di belakang komplek rumah saya terdapat bukit yang cukup terkenal untuk aktifitas sepeda gunung. Orang-orang sering menyebutnya dengan Hambalang, sesuai dengan nama sebuah desa di puncak bukit tersebut.
Tiap hari sabtu atau minggu saya rutin selalu bersepeda di bukit tersebut. Untuk mencapai puncak bukit dibutuhkan waktu 1,5 – 2 jam bila sepeda digenjot dengan konstan. Bila ditotal perjalanan dari rumah-puncak bukit-istrihat-kembali ke rumah, bisa mencapai 4 jam.
Bila membandingkan effortnya dengan mendaki gunung gede yang bisa mencapai 8 jam, bersepeda di hambalang bisa dihitung setengahnya. Jadi memang cukup berat, karena trek/jalur hambalang memang tipe tanjakan. Turun dari bukit juga tidak kalah lelahnya, karena membutuhkan kekuatan tangan yang prima. Saking beratnya, jatuh sudah tidak terhitung dan sempat kena dehidrasi dan muntah-muntah karena berangkat kesiangan.
Saya tidak sadar, ternyata pola aktifitas bersepeda yang saya lakukan sejak bulan februari tersebut membuat saya kehilangan berat badan (kurus) dan lebih hitam. 🙂
Tinggi saya 167 cm. Pada bulan Desember 2006 berat badan saya 182 Kg, saat ini berat badan saya 171 Kg! Walaupun masih di atas normal, tetapi dalam 4 bulan saya telah kehilangan 11 Kg tanpa diet.
Selain bersepeda di hambalang, sesekali juga bersama teman-teman dari Kompas Gramedia Cyclist (KGC). Rame-rame memang lebih seru.
Jadi… saya memang tambah kurus dan hitam…., tapi semua itu karena olahraga besepeda. Kenapa sih pada nggak percaya??????
🙂
dulu gw sempet bersepeda dr kos ke kampus, berat 60 Kg-an, tp setelah punya rumah dan motor skrg jadi 80 Kg 😛 … kayaknya harus kembali hidup sehat nih 🙂
iya, sepedaan aja. teman2 di kantor yang suka gowes rata2 memiliki catatan kesehatan yang bagus..:-)
susahnya di semarang tuh jalannya turun naik, kantor di kota bawah rumah di kota atas..dulu kalo naik lumayan 45 menit sampe 1 jam-an :p