Pernah terpikir berapa banyak waktu yang kamu habiskan dalam menggunakan aplikasi media sosial di perangkat bergerak kamu ?
Beberapa waktu lalu, saya menghadiri sesi meditasi Adjie Silarus, yah… kelas meditasi basic lah, karena saya sebenarnya bukan tipe yang mudah untuk melakukan aktifitas meditasi, hening.
Saat itu bersamaan juga dengan fase dalam hidup saya untuk melakukan ‘pilihan’ kedepan dengan tidak mengakses Path untuk waktu yang mungkin cukup panjang, sebut saja hibernasi.
Telepon atau Orang Pintar ?
Memiliki smartphone pada akhirnya tidak menjadikan saya lebih produktif, lebih pintar! atau lebih aware dengan kehadiran saya di dunia ini. Setiap menit dan jengkal tanah yang saya lalui setiap hari sebagian besar dilalui dengan menggenggam kotak kecil dengan sebidang layar berpendar yang selalu menampilkan informasi terakhir di seluruh belahan dunia ini.
Pada satu sesi di WAN-IFRA DMA Asia di Kuala Lumpur, salah seorang pelaku industri media di Jepang mengeluarkan paparan data bahwa penetrasi smartphone di Jepang sangat kecil. Lalu pertanyaan besarnya kenapa ? Jepang kan salah satu negara paling maju di dunia ? Ia menjawab singkat dan cukup menohok..
“Kami tidak memerlukan telepon pintar, karena kami sudah pintar” begitu ujar sang pembicara sambil tersenyum lebar.
Mari kembali ke sebuah aktifitas kehidupan kecil di suatu tempat di Kota Bogor. Pada saat bangun tidur jam 04:00 pagi, sebuah smartphone dengan setia mengeluarkan ‘nyayian’ bangun pagi dengan ‘tarian’ kelap-kelip cahaya yang memaksa segenap pikiran dan raga untuk bangun menuju kamar mandi.
Ritual pagi buta tersebut dimulai dengan mengecek berbagai macam pesan dan kabar terakhir para sahabat melalui aplikasi jejaring sosial.
Setelah bersiap keluar rumah, tangan secara otomatis akan menggenggam smartphone yang akan digunakan untuk mengisi waktu luang di sepanjang perjalanan ke kantor. Menggunakan transportasi umum di Jabodetabek sangatlah menyita waktu, pilihannya tidur atau melakukan akses dengan telepon genggam.
Indikator baterai yang menunjukkan kapasitas penuh seakan menjadi ‘tarian’ penggoda agar mata dan jari selalu menatap dan memainkan layar yang secara konstan dan dengan intensitas tinggi memancarkan informasi tiada henti disepanjang perjalanan.
Perjalanan yang pastinya sangat panjang dari sisi jarak dan waktu di dalam bus kadang terasa sangat cepat berlalu. Pikiran, rasa dan raga seperti hilang tertelan dalam keasyikan jari dan kepala yang menunduk menghamba pada layar kecil di telapak tangan.
WhatsApp, Email, Short Message, Path, Facebook, Twitter, Instagram dan Browser, sebut saja semua.. silih berganti menampilkan informasi tiada henti.
Diawali dengan kondisi gelap gulita di terminal bus, sampai dengan terik pagi hari di lokasi kantor, benda kecil di tangan tersebut tiada henti mengeluarkan sihirnya.
Bahkan pada saat sampai di depan lobi kantor dan memasuki lift, ia tetap setia di genggaman tangan menemani sampai di ruangan kantor.
Fear Of Missing Out
Pada saat sesi meditasi dengan Adjie Silarus pada acara Yoga Festival 2015 di Taman Menteng, Jakarta, terlontar kata-kata Fear Of Missing Out (FOMO). Sebenanya pada saat itu bukan materi FOMO yang dibahas, tetapi lebih pada penggambaran kondisi depresi yang bisa dialami seseorang dan cara ‘rebound’ yang harus dilakukan.
Nah, mengenai depresi ini hal lainnya, saya tidak akan membahasnya, saya hanya ingin membahas mengenai FOMO karena terkait dengan konsep ‘being presence’. Konsep ‘hadir di saat ini”, tetapi seringkali hanya secara fisik, secara pikiran tidak hadir sama sekali.
Pikiran bisa jadi ada di masa lalu atau kecemasan di masa depan. Oh iya, dan ini adalah salah satu indikator’depresi’.
Setelah pulang kerumah saya mulai mencari dan membaca mengenai FOMO, ternyata ini topik yang nggak baru-baru amat tapi juga nggak lama-lama amat. Beberapa situs online besar memuatnya dalam artikel berlapis yang sangat berbobot.
Lalu apa itu FOMO ? Fear Of Missing Out adalah sebuah kondisi kecemasan sosial, ketakutan yang menjalar pada seseorang bahwa orang lain memiliki pengalaman lebih berharga dibanding yang ia sendiri dapatkan.
Kondisi ini ditandai dengan keinginan seseorang tersebut untuk selalu terkoneksi terus menerus dengan apa yang orang lain lakukan.
Beberapa artikel mengenai Fomo, bisa didapatkan di Huffington Post, New York Times, Forbes, Inc, BBC, Telegraph dan juga Life Hacker
Apakah saya dalam kondisi FOMO ? bisa iya , bisa juga tidak. Ketika saya mengakses Facebook atau Twitter sebagian karena saya ingin mengetahui update dari teman, tetapi sebagian karena saya ingin mendapatkan update berita.
Path? nah ini unik, platform yang hanya ada di mobile apps tersebut entah kenapa sangat cocok dengan orang Indonesia. Dengan Path diakui jujur atau tidak, kita secara terang benderang menginginkan respon terhadap konten yang di posting atau komentar / feedback yang kita berikan terhadap konten orang lain.
Dengan Path anda dapat mengetahui posting atau komentar anda sudah terbaca oleh teman anda atau tidak, oh iya bahkan oleh teman dari teman anda.
Letih dan Tidak Produktif
Tanpa sadar, eh.. sebenarnya sih juga sadar energi yang digunakan untuk selalu terkoneksi dengan jejaring media sosial sangatlah besar. Saya termasuk yang percaya konsep energi, dan saya merasakan betapa lelahnya untuk selalu terhubung dan hadir untuk orang lain.
Dengan media sosial saya merasa tidak hadir untuk diri sendiri, tetapi hanya hadir untuk orang lain.
Permasalahan makin menjadi-jadi ketika saya mulai melakukan perhitungan dan evaluasi waktu yang saya gunakan untuk produktif menghasilkan sesuatu. Mulai dari pekerjaan, waktu untuk keluarga, waktu untuk teman dan juga waktu untuk sendiri.
Perbandingannya sangatlah mengenaskan, saya bahkan tidak bisa menghabiskan sebuah buku 300 halaman! buku itu hanya tersimpan rapi di dalam tas saya selama berminggu-minggu.
Pernah terbayang nggak sih, ketika rapat, bertemu teman di kafe, makan siang, menunggu bus atau kereta kita selalu konstan terhubung dengan media sosial di smartphone. Betapa besar energi yang dicurahkan untuk aktifitas yang dilakukan pararel tersebut.
Bukankah ketika bertemu di kafe harusnya kita saling bertukar cerita ? Makna siang harusnya menikmati dan mensyukuri berkat hari ini bersama rekan kerja ? Menunggu bus, teman diisi dengan membaca buku atau mengamati linkungan sekitar ?
Menghapus Aplikasi Path, Facebook dan Twitter
Tindakan drastis harus segera diambil!
Dimulai dengan menghapus aplikasi Path, Facebook dan Twitter dari perangkat telepon genggam yang juga sering kita sebut dengan dengan smartphone alias ‘telepon pintar’.
Sebenarnya tidak terlalu ekstrim, karena saya masih bisa mengakses jejaring sosial tersebut melalui browser di desktop / laptop maupun browser di smartphone.
Apakah tindakan menghapus aplikasi jejaring sosial membantu ? Ya, membantu!
Dalam moment keseharian, saat ini saya tidak merasa perlu secara terus-menerus terhubung. Pada akhirnya, waktu senggang atau menunggu saya habiskan untuk browsing menggunakan google atau menonton berbagai video di Youtube.
Beberapa kali saya masih tergoda untuk terhubung ke jejaring sosial menggunakan browser smartphone, ya sudahlah, yang penting intensitasnya berkurang drastis. Berkurangnya intensitas sepertinya karena ketidaknyamanan menggunakan browser dibandingkan aplikasi mobile. Beberapa kali akses juga harus saya lakukan karena sebagian besar rekan kerja dan partner menggunakan jejaring sosial untuk melakukan komunikasi pekerjaan
Selain browsing dan Youtube, waktu jeda juga saya gunakan untuk lebih aware dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Saya mulai bisa kembali membaca buku, menenangkan pikiran (meditasi kecil) dan pastinya juga menulis blog ini!
Paling terasa adalah ketika pada akhirnya si kecil Constantine mulai terbiasa tidak memegang dan menggunakan handphone saya, hal ini karena saya juga sering terlihat tidak membawa perangkat tersebut.
Untuk Christina Happyninatyas, kami seringkali saling mengingatkan dengan memberi sindiran ringan.
Hmmm….been there done that, tapi perlu dicoba lagi kayanya.
saya sndiri tidak menganggap sosmed sangat penting utk ada di smartphone saya