Pada bulan November 2019, tepat enam tahun yang lalu, saya akhirnya benar-benar melangkah keluar dari gerbang sebuah perusahaan besar yang sudah menjadi bagian hidup saya selama hampir separuh usia produktif.
Sebuah perusahaan media, anak dari kelompok korporasi raksasa yang mempekerjakan ribuan orang. Di unit tempat saya bekerja saat itu saja, ada sekitar enam ratus jiwa yang setiap hari berlari di roda besar bernama industri media.
Bagi banyak orang di sekeliling saya, keputusan itu tampak nekat, bahkan sedikit gila. Saya mengundurkan diri di tengah pandemi, ketika ketidakpastian sedang menjadi udara yang dihirup semua orang.
Dan yang paling aneh, saya belum punya tempat baru untuk bekerja.
Tidak ada janji posisi lain, tidak ada tawaran yang menunggu di meja. Hanya keyakinan kecil di dalam hati bahwa ini waktunya berhenti.
Biasanya orang keluar dari pekerjaannya karena sudah menemukan pengganti. Sudah ada jembatan yang siap dilewati. Tapi saya memilih berjalan tanpa tahu ujung jalan.
Keputusan itu mungkin tampak mendadak bagi sebagian rekan, padahal sebenarnya tidak.
Bertahun-tahun sebelumnya, saya sudah menyiapkannya dalam diam. Semua langkah sudah direncanakan, dengan sabar, dengan penuh pertimbangan yang tak banyak orang tahu.
Pandemi datang sebagai topan yang justru membuka jalan. Aturan kerja berubah, pertemuan dibatasi, semua jadi berjarak. Itu membuat saya bisa keluar tanpa harus berpamitan tatap muka, tanpa perpisahan penuh air mata di ruang rapat yang dingin.
Mungkin itu pertolongan kecil dari semesta. Karena sejujurnya, kalau harus menatap mereka satu per satu, saya tidak yakin sanggup menahan mata yang basah.
Mbrebes mili, seperti kata orang Jawa.
Sebagai seseorang yang masih suka menulis, saya tahu saya akan menuliskan cerita ini suatu hari nanti, kisah tentang keberanian yang tidak terasa heroik, tentang keputusan yang tidak diambil dalam semalam.
Hari ini, enam tahun setelahnya, saya akhirnya dapat duduk tenang menulis bagian akhir cerita ini di sebuah blog. Dengan jarak, dengan kesadaran, dan dengan rasa syukur yang perlahan-lahan menjadi bening.
Ketika Data Berkata Jujur
Saya bergabung di perusahaan itu sebagai staf peneliti bisnis. Tugas saya sederhana di atas kertas, belajar riset dari awal, membantu membuat sistem informasi berbasis data, mengamati perilaku pembaca, sirkulasi, dan distribusi koran.
Tapi di balik tugas itu ada sesuatu yang lebih besar.
Saya diberi akses pada data-data yang tidak semua orang boleh lihat. Angka penjualan, laporan oplah, tren iklan, grafik penurunan. Di antara deretan angka itu, saya melihat masa depan yang tidak seindah masa lalu.
Sebagai peneliti muda, saya tahu kenapa data itu dijaga rapat. Bukan karena rahasia dagang semata, tapi karena data punya kuasa. Ia bisa menyingkap kenyataan yang tidak semua orang siap terima.
Dan kenyataan itu adalah, industri surat kabar sedang menua.
Tahun 2004, era “big data” belum populer. Tapi kami di divisi riset sudah bereksperimen dengan apa yang sekarang disebut “vector database”.
Kami membuat sistem analisis menggunakan OLAP, MDX, dan datamart kecil yang menjadi semacam mesin waktu, memperlihatkan tren yang mungkin tidak ingin dilihat siapa pun.
Sebagai orang yang mencintai data, saya tahu grafik-grafik itu bukan sekadar angka. Mereka bercerita tentang sebuah industri yang perlahan kehilangan napas.
Saya ingat satu sore ketika saya memandangi laporan sirkulasi dari Pew Research tentang industri koran di Amerika, garisnya terus turun tahun demi tahun.
Tidak butuh banyak tafsir untuk mengerti ke mana arah dunia bergerak. Kalau industri di negara maju saja menurun, bagaimana nasib media cetak di negeri yang sedang sekarat seperti Indonesia?
Tapi saya tetap bertahan, bukan karena menutup mata, melainkan karena rasa suka dan keterikatan. Karena di balik semua grafik penurunan itu, ada nilai-nilai yang membuat saya bangga, integritas, ketulusan, dan manusia-manusia yang jujur bekerja di perusahaan tersebut.
Saya tahu saya tidak sedang bertahan demi korporasi. Saya bertahan karena menghargai arti pekerjaan itu sendiri.
Ketika Surga Tidak Lagi Abadi
Bagi banyak orang, bekerja di sana adalah surga dunia. Fasilitas lengkap, tunjangan besar, pinjaman rumah bunga nol persen, dana pensiun seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), bonus tahunan yang membuat banyak keluarga tersenyum.
Orang-orang menyesuaikan hidup mereka dengan perusahaan, mencari rumah di sekitar kantor, menikah dengan rekan kerja, menua bersama rutinitas yang teratur.
Tapi dari ruang kecil tempat saya menganalisis data, saya tahu surga ini punya tanggal kedaluwarsa. Angka-angka tersebut tidak bisa berbohong.
Saya melihat bagaimana industri kamera film runtuh dalam sepuluh tahun semenjak lahirnya kamera digital. Kalau teknologi bisa menghapus sesuatu sekuat itu, apa yang bisa menahan kertas dan tinta?
Saya sering berbincang santai dengan teman-teman di divisi riset, memprediksi kapan “tipping point” itu akan datang. Saat di mana jumlah pembaca sudah tidak lagi membuat bisnis ini masuk akal.
Kami bercanda, tapi di dalamnya ada kesedihan yang samar. Seperti melihat kapal megah yang perlahan bocor air di lambungnya.
Tipping point adalah istilah yang dipopulerkan pleh Malcolm Gladwell, bukan sekadar teori. Ia adalah kenyataan yang sedang berjalan di depan mata. Dan penolakan untuk melihat dan mengakuinya, hanya menunda rasa sakit.
Industri media cetak sedang menuju senja. Menyangkal hanya akan memperlambat proses penerimaan kenyataan.
Belajar Berdiri di Kaki Sendiri
Dari kesadaran itulah saya mulai menyiapkan diri. Saya tidak ingin hidup saya sepenuhnya ditopang oleh sesuatu yang sedang perlahan rapuh. Maka saya mulai membuat keputusan-keputusan kecil yang waktu itu mungkin terlihat aneh.
Tidak menggunakan fasilitas pinjaman rumah kantor, misalnya. Saya lebih memilih membeli rumah sendiri lewat KPR di Bank Mandiri, di tahun kedua saya bekerja. Gaji saya waktu itu hanya tiga juta rupiah, standar karyawan Management Trainee (MT) dan sepertiganya langsung terpotong untuk cicilan ke Bank Mandiri.
Tapi saya tetap maju.
Uang muka untuk pembelian rumahpun saya pinjam dari kekasih saya, yang sekarang jadi istri saya. Rasanya konyol, tapi juga indah dan juga sedikit ‘memalukan’.
Kami tahu apa yang kami perjuangkan. Tahun 2019, rumah itu akhirnya lunas. Lima belas tahun terikat dengan bank, tapi pada akhirnya bebas.
Lunasnya rumah itu menjadi simbol kecil kemerdekaan batin. Saya tidak lagi terikat fasilitas pinjaman apapun. Ketika hari itu saya memutuskan dan membulatkan niat berhenti bekerja, tidak ada yang bisa menahan saya, rasanya sangat ringan.
Banyak orang menertawakan keputusan saya waktu itu.
“Bodoh,” kata mereka.
“Kenapa nggak sabar sedikit? Nanti juga bisa pinjam tanpa bunga.” Tapi saya tahu apa yang saya lakukan. Hidup saya harus bisa berdiri di kakinya sendiri.
Saya melihat bagaimana orang-orang yang terikat cicilan perusahaan atau cicilan konsumtif lainnya sering terjebak dalam permainan yang sama, mempertahankan posisi bukan karena cinta pekerjaan, tapi karena takut kehilangan fasilitas dan sumber pendapatan.
Dari kondisi tersebut lahir banyak politik kantor, banyak kompromi yang perlahan mematikan integritas.
Saya dan istri bersepakat untuk hidup sederhana, anak satu cukup karena dunia sudah penuh.
Kami bercanda seperti itu, tapi di baliknya ada kesadaran yang tenang dan bulat. Kami bukan orang kaya, tapi kami berusaha hidup dengan kepala tegak.
Membangun Masa Depan dari Ruang Kecil
Saya tetap bekerja di sana selama enam belas tahun. Panjang, tapi tidak terasa. Setiap tiga atau empat tahun, saya diberi peran baru, pindah divisi, memimpin proyek baru, menghadapi tantangan baru. Saya tumbuh, perusahaan pun berubah.
Gaji naik otomatis setiap tahun mengikuti inflasi, suasana kerja hangat, rekan-rekan seperti keluarga.
Tidak ada yang kurang.
Puncaknya adalah keterlibatan saya di proyek Kompas.id, sebuah upaya besar membawa koran ke dunia digital berbayar.
Waktu itu tidak semua percaya orang mau membayar berita online. Tapi kami berani mencoba. Di ruang kerja kecil yang bahkan tidak layak disebut “kantor”, kami membangun sesuatu yang baru.
Saya memimpin tim teknologi dan inovasi, anak-anak muda yang awalnya terbiasa dengan lingkungan Microsoft dan SAP, sekarang harus belajar Linux, sumber kode terbuka, dan bahasa pemrograman yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Itu masa yang luar biasa. Kami belajar banyak, jatuh bangun, tapi saya tahu kami sedang melakukan hal yang benar.
Sampai hari ini, Kompas.id masih berdiri, sebagian besar di atas infrastruktur Azure, menggunakan open source, dan tetap relevan.
Setidaknya ada satu hal yang bisa saya banggakan, keputusan teknologi yang dulu kami pertahankan dengan keras kepala ternyata tidak salah.
Tahu Kapan Harus Pergi
Tapi semua hal baik punya akhirnya. Ketika perusahaan memutuskan melakukan restrukturisasi, menggabungkan unit teknologi, data, dan produk menjadi satu divisi besar, saya tahu arah anginnya sudah berbeda.
Secara manajerial mungkin efisien, tapi secara manusia saya tahu itu akan menekan kreativitas, membuat tim kehilangan fokus dan tuntutan ke saya juga bisa jadi tidak masuk akal.
Saya sudah terlalu lama di sana untuk tidak mengerti tanda-tanda.
Saat itulah semua persiapan bertahun-tahun terasa masuk akal. Semua simulasi mental, semua tabungan, semua perhitungan, semuanya membawa saya ke satu titik ini, waktunya pergi.
Saya keluar bukan karena kecewa, tapi karena tahu kapan harus berhenti. Kadang pergi adalah cara lain untuk menghormati tempat yang pernah kita cintai.
…
Tahun 2019 juga adalah tahun di mana rumah saya lunas. Setelah lima belas tahun, bank akhirnya melepaskan haknya, dan saya menerima surat roya dengan tangan bergetar.
Rasanya aneh, saat orang lain sibuk menumpuk aset dan mempertahankan status quo, saya justru ingin melepaskan. Mungkin karena saya sudah cukup lelah menahan ketidaknyamanan perubahan organisasi dan bagaimana orang-orang diperlakukan oleh perubahan.
Dan ketika pandemi datang, saya seperti sudah disiapkan.
Saya berbicara dengan istri lebih dulu. Dia tidak kaget, bahkan berkata, “Akhirnya.”
Bertahun-tahun sebelumnya dia sudah merasa ini akan terjadi. Kami tertawa bersama, tapi di dalam hati saya tahu dia benar, doa istri punya kekuatan sendiri.
Anak saya waktu itu masih SD. Saat saya bilang, “Poppa berhenti kerja,” dia menatap saya polos, “Poppa nanti jualan cireng aja, ya?”

Kami tertawa lagi, kadang kejujuran anak adalah hiburan terbaik bagi orang dewasa yang sedang gugup dan gagap.
…
Saya memberi tahu bagian HR lebih dulu. Saya minta kabar ini tidak disampaikan dulu ke atasan saya, Direktur Bisnis saat itu, karena beliau akan pensiun di tanggal yang sama.
Tidak etis rasanya menambah beban pikiran pimpinan dan rekan kerja yang selama ini saya hormati. Sebelum pensiun, beliau sempat berkata di sebuah pertemuan rutin bisnis, “Nanti, kalau ada teman mau ambil golden handshake, kabari saya ya.”
Saya tahu maksudnya, tetapi saya tidak tertarik. Saya ingin keluar tanpa embel-embel kompensasi. Saya ingin pergi dengan kepala tegak, bukan dengan amplop.
Tanggal 1 November 2019, saya resmi menjadi pengangguran. Teman-teman banyak yang bertanya, “Pindah kemana Dit?”
“Dirumah, bercocok tanam”, Jawabku santai penuh kelakar.
Saya tertawa, tapi dalam hati ada campuran rasa yang tidak bisa dijelaskan, lega, takut, tapi juga tenang, bagaimanapun, saya sudah menyiapkan diri untuk kondisi dan momen ini.
Tiga bulan pertama saya jalani dengan ringan dan sedikit “jetlag“. Saya menulis, membantu komunitas, dan jalan kaki setiap pagi. Istri saya bilang, jalan kaki itu menyelaraskan energi dengan semesta. Saya tidak sepenuhnya paham, tapi toh saya melakukannya juga.
Kadang hal sederhana seperti melangkah tanpa tujuan bisa jadi cara terbaik untuk menemukan arah baru.
Ketika Kesiapan Bertemu Keberuntungan
Setelah beberapa bulan, saya mulai melamar pekerjaan lagi. Umur saya sudah empat puluh lebih. Banyak yang bilang sudah terlambat untuk mulai lagi.
Tetapi saya tidak percaya pada kata terlambat, dunia selalu punya ruang bagi orang yang mau belajar dan bekerja.
Saya melamar ke mana-mana menggunakan berbagai platform, LinkedIn, Glints JobsDB, Geekhunter dan rasanya seperti naik roller-coaster.
Ketika diterima di sebuah startup pre-series, walau perusahaannya hanya berumur setahun lebih, saya akhirnya punya kesempatan belajar dengan linkungan multi-kultur dan menggunakan bahasa Inggris untuk komunikasi kerja sehari-hari.
Investor dan rekan kerja dari berbagai negara, Jepang, Rusia, Thailand dan pastinya Indonesia, dan juga tim teknologinya berasal dari Negara Vietnam.
Benar-benar sebuah kekacauan, dan benar seperti lirik sebuah lagu yang berasal dari ungkapan Friedrich Nietzsche, “What doesn’t kill you, will make you stronger“.
…
Ketika akhirnya bertemu dengan beberapa rekan yang juga aneh dan ajaibnya mengundurkan diri, dan juga mengambil jalam berkarya dan peruntungan ditempat lain, beberapa melontarkan kalimat ini.
“Bekerja di tempat lain ya lebih berat, beda banget”, ujar beberapa teman.
“Lah kok mau, resign dari perusahaan mapan, dan coba tawaran lain?” tanyaku dengan santai.
“Ya susah dijelaskan kan ya…, lah wong sampeyan juga keluar kok”. Ujar salah satu teman dengan penuh kelakar.
” Susah dijelakan, pindah dari zona nyaman bukan untuk semua orang”, Kata teman yang dulu membantu saya membangun infrastruktur server.
Begitulah salah satu suasana reuni sesama dari yang memberanikan diri pensiun lebih awal dari surga duniawi tersebut.
…
Setelah tidak berlajut dengan startup pre-series tadi, akhirnya saya kembali menjadi pengangguran, dan kembali mengerjakan proyek sebagai freelance dan juga melamar kembali perusahaan lain.
Kali ini tidak terlalu kaget, karena artinya suda dua kali keluar dari perusahaan.
Uniknya disaat kedua ini, banyak rekan, teman atau mantan kolega kerja dan partner yang menawarkan berbagai posisi ketika saya kembali tidak berkarya di perusahaan, mungkin karena saat itu pengalaman saya sudah bertambah.
“Yah, gimana, bukannya ngasih tahu sudah nggak disitu lagi”, ujar mereka bingung kok saya nggak mengabari mereka untuk tanya peluang.
Anehnya lagi, respon lamaran pekerjaan datang bertubi-tubi dan dalam waktu yang hampir bersamaan, kadang kita nggak tahu rencana semesta untuk kita, kita hanya perlu menjalaninya saja dengan sebaik-baiknya.
Disini saya sadar pentingnya reputasi dan integritas dalam bekerja, karena akhirnya orang akan melihat hal tersebut.
…
Dari semua tawaran dan kesempatan, akhirnyai saya memilih IRIS Jakarta , saat itu untuk posisi Solution Architect. Kenapa? lebih karena saya merasa lebih “klik”saja secara intuisi.
Ketika memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan media, saya memiliki strategi dan persiapan tersediri ketika melamar pekerjaan.
Tidak berambisi mengincar posisi sejenis atau lebih tinggi layaknya orang pindah perusahaan, karena saya tahu nilai tawar saya rendah karena saya mengundurkan diri dari perusahaan sebelumnya, alias jobless.
Dugaan kenapa dengan umur diatas empat puluhan, lamaran saya masih direspon karena saya melamar di area teknologi yang posisinya tidak begitu tinggi, membutuhkan pengalaman memimpin unit, mengerti engineering, mulai dari technical lead, manager sampai dengan solution architect.
Saat itu banyak perusahaan membutuhkan pekerja dengan pengamalaman segudang untuk posisi lead atau firt-line manager.
“Maksudnya kerja bagai kuda, non “leyeh-leyeh” managerial, dengan pengalaman dan skill segudang”
Waktu itu, salah satu interviewer IRIS Jakarta bertanya, “Kamu bisa Azure?”
“salah satu client kita menggunakannya, kita biutuh orang yang mengerti Azure.”
Saat mendengar hal tersebut. dalam hati, saya tersenyum dan langsung mendapatkan aha moment. “Saya sebelumnya mengelola puluhan Virtual Machine (VM) dan ratusan prosesor di Azure untuk Kompas.id,” jawab saya.
“Saya tahu banyak perusahaan menggunakan AWS dan GCP, tetapi soal Azure saya expert”, ujarku saat itu.
Di situ saya tahu, keahlian saya yang “niche” masih dibutuhkan, saya masih punya tempat.
Ada pepatah yang bilang, sukses terjadi saat kesiapan bertemu kesempatan. Mungkin itu yang terjadi pada saya. Tapi saya lebih suka menyebutnya, kesiapan bertemu keberuntungan.
Menoleh Tanpa Penyesalan
Enam tahun setelah keputusan itu, saya menulis ini bukan untuk membenarkan pilihan, tapi untuk mengingatkan diri sendiri. Keluar dari korporasi bukan soal berani, tapi soal siap.
Siap kehilangan rasa aman, siap menerima ketidakpastian, siap melihat hidup dari sisi lain. Kadang kita tidak benar-benar meninggalkan sesuatu. Kita hanya berpindah cara untuk bertumbuh.
Dan saya bersyukur, karena waktu itu saya memilih pergi bukan karena hal negatif, tapi karena mencintai arah hidup saya sendiri.
Epilog
Pada akhirnya, hidup memang tidak selalu butuh rencana besar. Kadang cukup satu keberanian kecil untuk melangkah keluar dari lingkaran yang sudah terlalu lama kita putari.
Dunia kerja sering memberi rasa aman, tapi jarang memberi ruang untuk benar-benar tumbuh.
Kadang keputusan paling rasional justru lahir dari keheningan panjang, dari momen saat kita akhirnya berani mendengar suara hati sendiri.
Dan kalau hari ini saya menoleh ke belakang, saya tidak akan mengubah keputusan dan tindakan yang saya ambil. Karena bahkan ketakutan dan kegamangan di masa itu, kini terasa seperti bagian dari doa yang akhirnya dikabulkan, menjadi manusia yang tidak sempurna, tapi sadar untuk terus tumbuh.