Sering kali, kita bertemu dengan sosok yang lantang berbicara soal nilai-nilai moral, etika, atau kebijaksanaan, tetapi perilaku mereka sendiri justru menjadi ironi dari apa yang mereka sampaikan.
Fenomena ini bukan hal baru, dan secara psikologis, ini mencerminkan hipokrasi moral dan cognitive dissonance.
Bagaimana keduanya bekerja?
Apa dampaknya dalam kehidupan kita, terutama ketika terjadi pada figur publik yang menjadi panutan?
Hipokrasi Moral, Bicara Tanpa Melakukan
Hipokrasi moral adalah kondisi di mana seseorang menunjukkan dirinya sebagai pengikut nilai-nilai tertentu di depan publik, tetapi tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka mungkin berusaha membangun citra sebagai individu yang bermoral tinggi, namun tindakan mereka justru bertolak belakang.
Hal ini sering ditemukan dalam konteks politik, agama, atau bahkan media sosial. Beberapa contoh kasus publik yang bisa memberikan gambaran antara lain.
Lance Armstrong, atlet legendaris ini sering menjadi simbol ketangguhan dan inspirasi di dunia olahraga sepeda. Ia memimpin kampanye melawan doping dan menyuarakan pentingnya persaingan yang adil. Namun, skandal besar mengungkapkan bahwa Armstrong justru terlibat dalam salah satu skema doping terbesar dalam sejarah olahraga. (Lance Armstrong’s journey from deity to disgrace)
Pemimpin agama, ada banyak kasus di mana tokoh agama yang sering berbicara dan mengeluarkan pernyataan keras mengutuk pelanggaran moral, seperti perselingkuhan atau korupsi, justru pemimpin agama tersebut terungkap melakukan hal-hal yang melanggar yang mereka kotbahkan atau siarkan sebagai dosa besar.
Cognitive Dissonance, Ketidaksesuaian antara Pikiran dan Perilaku
Cognitive dissonance terjadi ketika seseorang memiliki keyakinan atau nilai tertentu, tetapi perilaku mereka tidak konsisten dengan keyakinan tersebut.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan rasa tidak nyaman, sehingga mereka mencoba merasionalisasi tindakan mereka.
Sering kali, mereka membuat pembenaran atau malah menyangkal fakta yang bertentangan. Beberapa contoh kasus publik yang bisa memberikan gambaran antara lain.
Politisi yang berjanji tentang anti-korupsi, banyak politisi yang naik ke kursi kekuasaan dengan janji untuk memberantas korupsi, tetapi kemudian terlibat dalam kasus korupsi sendiri. Mereka mungkin membenarkan tindakan mereka dengan alasan bahwa “sistem yang ada memaksa mereka” atau bahwa “korupsi kecil masih lebih baik daripada yang besar.” (Deretan Politikus yang Terjerat Kasus Korupsi)
Aktivis lingkungan dan selebriti, beberapa aktivis dan selebriti terkenal yang menyerukan pengurangan emisi karbon justru terungkap sering bepergian dengan pesawat pribadi, yang menghasilkan jejak karbon besar. (The Carbon Footprint of Celebrities)
Mengapa Ini Penting untuk Dicermati?
Fenomena ini penting dikenali karena menunjukkan bagaimana citra dan kenyataan sering kali berjarak. Di era media sosial, tekanan untuk terlihat “baik” atau “bijak” semakin besar.
Banyak orang terjebak dalam pola berbicara lebih banyak daripada bertindak, sering kali tanpa menyadari ketidakselarasan tersebut.
Ketika ini terjadi pada figur publik, dampaknya lebih luas. Orang-orang kehilangan kepercayaan, tidak hanya kepada individu tersebut, tetapi juga kepada nilai-nilai yang mereka wakili.
Dalam skala besar, ini bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi atau gerakan tertentu.
Refleksi untuk Diri Sendiri
Kita semua rentan terhadap hipokrasi moral dan cognitive dissonance. Mungkin dalam lingkup kecil, kita pernah menyarankan sesuatu kepada teman atau keluarga, tetapi gagal melakukannya sendiri.
Memahami fenomena ini dapat membantu kita lebih sadar untuk menyelaraskan kata-kata dan tindakan kita.
Mengakui ketidaksempurnaan bukanlah kelemahan, melainkan langkah awal menuju konsistensi. Karena, pada akhirnya, kredibilitas tidak hanya dibangun dari apa yang kita katakan, tetapi dari apa yang kita lakukan.
Melalui refleksi dan contoh-contoh di atas, apakah kita bisa mulai memandang cermin dan bertanya, “Sudahkah aku menjadi apa yang aku bicarakan?”
Bogor,
14 Desember 2024