Saya masih ingat jelas saat seorang teman sekolah mengutarakan cita-citanya dengan penuh keyakinan, ia ingin masuk kampus negeri favorit agar kelak bisa menjadi pejabat.

Pernyataan ini mengusik pikiran saya kala itu, karena sebagai remaja, konsep sukses yang saya pahami masih sangat sederhana.

Saat itu, saya belum memahami bahwa di balik cita-cita sederhana itu, terdapat tantangan struktural dan budaya yang sangat dalam di Indonesia.

Di Indonesia, pintar sering kali menjadi sebuah paradoks. Sejak kecil, kita terbiasa mendengar bahwa anak yang pintar pasti akan sukses, memiliki jabatan tinggi, dan tentunya hidup nyaman.

Namun, definisi sukses ini justru semakin dipersempit oleh struktur sosial dan budaya yang masih menjadikan jabatan sebagai ukuran utama keberhasilan hidup.

Fenomena ini paling jelas terlihat pada mereka yang sejak bangku sekolah dikenal sangat pintar secara akademis. Mereka dianggap sebagai bibit unggul yang “sayang” jika tidak menjadi pejabat atau pemegang jabatan penting di pemerintahan.

Akibatnya, banyak anak muda pintar yang bukan lagi berorientasi pada menciptakan sesuatu, berinovasi, atau mengejar passion mereka, tetapi justru mengejar kursi jabatan yang menjanjikan stabilitas sosial dan ekonomi.

Situasi ini bukan hanya persoalan individu, tetapi merupakan hasil dari tantangan struktural dan budaya.

Budaya credentialism, di mana gelar dan status lebih dihargai daripada kompetensi dan karya nyata, telah mendorong generasi muda untuk berlomba-lomba masuk ke institusi pendidikan negeri favorit dan sekolah-sekolah pemerintahan sebagai pintu utama menuju posisi jabatan bergengsi.

Namun, perlu kita tanyakan secara kritis, Apakah definisi sukses seperti ini masih relevan? Apakah fokus yang berlebihan pada jabatan justru menghambat kreativitas, inovasi, dan kemajuan Indonesia dalam jangka panjang?

Negara-negara maju yang berhasil melahirkan inovasi besar justru menempatkan penghargaan tinggi pada penciptaan karya, riset, dan profesionalisme.

Ini tak lepas dari kultur sosial mereka yang sejak lama memuliakan inovator, pekerja profesional, dan pencipta perubahan.

Di Amerika Serikat, sistem penghargaan terhadap inovator seperti Steve Jobs atau Jeff Bezos tidak didasarkan pada gelar atau jabatan formal pemerintahan, melainkan pada kontribusi mereka dalam mengubah dunia melalui teknologi dan produk nyata.

Budaya masyarakatnya pun mendorong eksplorasi, pengambilan risiko, dan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari nilai kesuksesan.

Di Jerman, sistem vokasi dan riset industri memungkinkan engineer-engineer industri untuk dihargai karena peran mereka dalam membangun keunggulan manufaktur nasional.

Contohnya adalah dukungan pemerintah terhadap perusahaan seperti Siemens, Bosch, dan BMW yang menjadikan riset dan pengembangan (R&D) sebagai tulang punggung inovasi.

Kultur mereka menghormati keahlian teknis dan akurasi kerja sebagai bentuk kehormatan sosial.

Jerman juga memiliki sistem pendidikan dual (dual education system) yang menggabungkan pelatihan praktis di industri dengan teori di institusi pendidikan, sehingga menciptakan profesional yang tidak hanya ahli secara teknis tetapi juga dihargai secara sosial dan ekonomis.

Bahkan di Jepang, budaya kerja dan profesionalisme lebih menekankan pada dedikasi serta hasil kerja tim di perusahaan, bukan status sosial semata. Kesetiaan, etos kerja, dan kontribusi terhadap kelompok menjadi pilar dalam memaknai sukses secara kolektif.

Sementara kita, Hal ini berakar dari kultur kita yang sejak lama menempatkan penghormatan tinggi kepada simbol, gelar, dan status formal, baik itu melalui birokrasi, kepangkatan, maupun institusi pendidikan.

Dalam banyak keluarga, restu terhadap pilihan hidup anak sering kali ditentukan oleh seberapa tinggi jabatan yang bisa diraih, bukan oleh kontribusi yang dapat diberikan kepada masyarakat.

Di forum-forum publik, kita cenderung lebih cepat percaya pada seseorang jika ia bergelar, berpakaian formal, dan memiliki posisi struktural. Ini bukan hanya mencerminkan persepsi individu, tapi juga nilai-nilai budaya kolektif yang perlu kita tinjau ulang.

Sering kali justru masih terjebak dalam paradigma lama bahwa sukses adalah memiliki jabatan tinggi dan dihormati secara sosial, alih-alih menilai dari kualitas karya atau dampak yang diciptakan.

Proses pencerahan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia muncul dari rangkaian pertanyaan yang perlahan-lahan tumbuh di kepala saya, dimulai dari rasa heran terhadap ambisi teman saya dulu, hingga kegelisahan saat melihat banyak orang cerdas yang memilih menyesuaikan diri dengan sistem, alih-alih menantangnya.

Kegelisahan itu kemudian mendorong saya mencari pemahaman lebih dalam, hingga saya mengenal berbagai konsep seperti credentialism yang menjelaskan obsesi kita terhadap gelar, dan status anxiety yang mengungkap betapa besarnya pengaruh pandangan sosial terhadap pilihan hidup kita.

Saya kemudian bertemu dengan pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus, konsep yang memperlihatkan betapa kuatnya kebiasaan dan lingkungan sosial membentuk tindakan kita tanpa kita sadari.

Puncak pencerahan saya justru hadir saat membaca Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan yang menekankan pentingnya kesadaran kritis.

Paulo Freire

Menurut Freire, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membentuk manusia menjadi penurut sistem.

Dan dari situlah saya mulai melihat bahwa mungkin masalah kita bukan kurangnya kepintaran, melainkan terlalu sempitnya makna sukses yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebagai contoh nyata, kita bisa melihat sejumlah sosok yang menempuh jalur berbeda dari norma umum namun tetap berhasil menciptakan dampak besar.

Misalnya, Bob Sadino, seorang pengusaha yang tidak menyelesaikan pendidikan tinggi formal namun sukses membangun jaringan bisnis Kem Chicks dan menjadi simbol keberanian berinovasi dari pengalaman hidup.

Ada juga Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang dikenal luas karena keberaniannya membangun bisnis penerbangan Susi Air meski hanya berbekal pendidikan SMA.

Pilihannya untuk tetap jujur, otentik, dan vokal membuktikan bahwa karya bisa berbicara lebih lantang daripada gelar.

Di sisi lain, kita juga mengenal banyak profesional seperti Yoris Sebastian, seorang kreatif profesional yang lebih memilih menciptakan berbagai inisiatif dan karya inovatif daripada mengejar jabatan birokratis.

Ia justru dikenal luas karena konsistensinya dalam membangun kreativitas di kalangan anak muda melalui platform dan pelatihan.

Kisah-kisah seperti ini menjadi penegas bahwa keberhasilan dan kontribusi nyata tidak harus datang dari jalur formal atau jabatan tinggi. Yang lebih penting adalah kemauan untuk terus belajar, mencipta, dan memberi makna melalui karya yang membebaskan.

Namun pada akhirnya, contoh-contoh itu hanyalah penanda.Yang lebih penting adalah perenungan kita masing-masing, apakah kita masih ingin melanjutkan warisan definisi sukses yang sempit itu? Atau sudah saatnya kita merumuskan ulang, dengan lebih manusiawi, lebih otentik, dan lebih membebaskan.

Karena sesungguhnya, sukses tidak ditentukan oleh apa yang kita sandang, tapi oleh apa yang kita ciptakan dan tinggalkan.

“Education does not change the world. Education changes people. People change the world.” — Paulo Freire

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.