Kultus individu atau dalam bahasa inggris disebut Cult of personality adalah kondisi dimana seseorang menciptakan figur ideal atau pahlawan dengan melakukan pujian yang berlebihan.
Biasanya praktek kultus individu sering ditemui pada negara dengan sistem diktator, seperti Jerman pada era Adolf Hitler, Kuba pada era Fidel Castro, Che Guevara di Kolombia sampai dengan Kim-Jong-Il di Korea Utara.
So, why I Concern ?
Pada saat ini kondisi tersebut muncul pada skala yang lebih kecil tapi membawa dampak sangat signifikan. Menurut pendapat saya, amplifikasi terjadi karena medium yang digunakan lebih luas spektrumnya.
Seperti penggunaan media masa dan media social digital yang bisa dilakukan siapa saja dengan mudah. Mulai dari pengkultusan sekte, aliran, tokoh politik, inventor, pemuka agama hingga tokoh masyarakat biasa yang biasa kita temui dalam keseharian.
Salah satu ‘produk’ dari kultus individu adalah terciptanya person atau grup yang antikritik dan tidak bisa diajak berpikir lurus. Jika orang yang dikultuskan atau diidolakan mengatakan ‘A’ maka ‘A’ adalah suatu kebenaran mutlak.
Melihat Kebelakang
Pada masa kuliah di tahun 1998 – 2003 (dimasa saya kuliah…), konsep kultus individu dikritisi dengan cara selalu mengajak setiap mahasiswa/i untuk berpikir kritis dan skeptis melalui berbagai diskusi kelompok di kampus maupun antar kampus.
Skeptis adalah pola pikir dimana seseorang selalu meragukan, mencurigai segala sesuatunya atau memandang segala sesuatu dengan tidak pasti.
Pada era kuliah tersebut, akses ke informasi dengan tingkat kebenaran tinggi masih sangat terbatas pada beberapa media mainstream saja dan juga media bawah tanah (underground) yang beredar dengan sistem distribusi yang sangat tertutup. Akses dunia digital (internet) juga masih sangat terbatas dengan hanya mengandalkan modem dial-up dengan kecepatan maksimal 14Kbps.
Menyeduh kopi adalah hal biasa saat menunggu halaman pertama sebuah situs untuk tampil dengan sempurna!
Dengan kondisi dan interaksi yang sangat terbatas tersebut, pertemuan tatap muka menjadi metode yang intens digunakan untuk membangun wacana kritis dan juga pola pikir skeptis di kalangan mahasiswa/i.
Bukannya skeptis itu buruk ?
Banyak orang , termasuk teman-teman saya menilai bahwa skeptis itu buruk.
“Skeptis banget sih lo, optimis dong!”
Begitu kira-kira ucapan yang sering terlontar. Sebenarnya pola pikir skeptis tidak selalu berkonotasi negatif. Bila digunakan dengan benar, pola pikir skeptis bisa menjadi alat yang baik untuk menyaring informasi mengenai kebenaran, mencegah tindakan gegabah lainnya seperti over confidence dan pastinya juga mempertanyakan ide atau gagasan seseorang.
Lalu bagaimana pola pikir skeptis sebaiknya digunakan ?
Untuk membangun wacana diskusi yang baik, biasanya sebuah kelompok diskusi menggunakan materi buku atau artikel tertentu sehingga pembahasan bisa menjadi lebih objektif, tajam dan tidak menghasilkan debat kusir. Diksusi dengan menggunakan materi buku sebagai topik biasanya disebut dengan bedah buku dan masih lumrah dilakukan sampai hari ini, tetapi saya yakin intensitas dan kedalaman diskusinya berkurang.. hehehe..
Pada saat bedah buku, pastinya tiap peserta harus sudah membaca buku tersebut, setelah itu dimulailah tahapan yang lebih seru lagi, brainstorming! alias diskusi. Pada saat diskusi tadi gunakanlah ‘pisau’ pola pikir skeptis untuk mempertanyakan opini atau pendapat orang lain, sehingga akan tercipta sebuah diskusi yang ‘berlapis’ dan penuh dengan iterasi.
A: Saya pikir X adalah seorang penulis hebat, kalo bisa dibilang seorang sastrawan!
B: Ah yang bener ? saya rasa nggak juga, banyak ide dalam bab itu yang mirip dengan penulis Z.
…
Bila memiliki topik yang fokus , misalnya dengan buku, pola pikir skeptis bisa jadi alat kontrol yang baik karena yang menjadi bahan diskusi adalah kontennya dan pastinya bukan personnya.
Menggunakan pola pikir skeptis pastinya membutuhkan kondisi tertentu, argumen yang digunakan sebaiknya juga menggunakan literatur yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan selalu mempertanyakan dan menantang segala sesuatunya, saya rasa / pikir akan mengurangi cult of personality karena gagasan atau ide seseorang bisa diruntuhkan dalam debat wacana yang sehat.
keren bgt niha artikelnya