Ada film yang tidak hanya ditonton, tapi dirasakan. Contact (1997) adalah salah satunya. Sejak menit pertama, film ini seperti menurunkan volume dunia. Rasanya seperti semesta sedang berkata, “sebentar… dengarkan dulu.”
Dibintangi Jodie Foster dan dibangun dari ide-ide besar Carl Sagan, Contact bukan sekadar film atau novel fiksi ilmiah. Ia lebih seperti surat cinta kepada rasa ingin tahu manusia, sekaligus penghormatan untuk seseorang yang menghabiskan hidup menjembatani sains dan kemanusiaan.
Yang membuatnya terasa berbeda adalah niat awalnya. Film ini dibuat ketika Carl Sagan sudah memasuki masa-masa akhir hidupnya. Ia meninggal sebelum filmnya rilis. Karena itu, Contact akhirnya berdiri sebagai monumen kecil, lembut, dan manusiawi untuk mengenang warisan pemikirannya.
Sagan selalu mengajarkan hal yang sederhana namun sering kita lupa, bahwa semesta terlalu besar untuk kita jalani dengan ketakutan, dan terlalu indah untuk kita jalani tanpa rasa kagum.
Siapa yang mencintai Interstellar(2014) hampir pasti akan merasakan resonansi yang mirip di Contact. Kalau Interstellar adalah perjalanan menembus ruang dan waktu dengan cinta sebagai kompas, Contact jauh lebih sunyi, lebih dekat ke dalam, lebih kontemplatif.
Ia bukan film yang ingin membuatmu kagum pada efek visual, tapi film yang ingin membuatmu berhenti sejenak dan mengingat sesuatu yang mungkin sudah lama mengendap, bahwa hidup itu pencarian.
Dan pencarian selalu berharga, bahkan ketika jawabannya belum ada.
Carl Sagan sendiri adalah figur yang mampu membuat sains terdengar seperti puisi. Ia tidak datang dengan jargon rumit, tapi dengan cara memandang semesta seolah kita semua bagian dari cerita besar yang sama.
Kata “cosmos” dari Sagan bukan sekadar ruang hampa, tapi rumah luas yang penuh sejarah, keajaiban, dan misteri yang belum selesai kita pelajari. Lewat Contact, cara pandang itu seperti diturunkan dalam bentuk novel dan film.
Di dunia hari ini, tempat orang mudah merasa gagal, merasa kalah, merasa tidak cukup, Contact jadi terasa sangat relevan. Banyak orang yang berjalan tanpa tujuan jelas. Banyak yang tenggelam oleh kebisingan berita, pekerjaan, target hidup, ekspektasi sosial.
Ada yang kecewa dengan dirinya sendiri, ada yang merasa jalur hidupnya tidak ke mana-mana. Contact datang sebagai pengingat “halus”, bahwa manusia tidak pernah diminta untuk tahu semua jawabannya sekarang.
Manusia hanya diminta hanya terus mencari, terus penasaran, terus membuka ruang untuk kemungkinan.
Banyak kutipan dari film dan novel Contact yang sudah lama menjadi bagian dari diskusi publik. Kutipan-kutipan yang tidak hanya indah, tapi juga punya lapisan makna yang dalam.
Salah satu yang paling terkenal adalah saat Ellie Arroway yang diperankan oleh Jodie Foster, setelah ia melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains, ia hanya bisa berkata, “They should have sent a poet.”
Kalimat sesederhana itu langsung merangkum pengalaman manusia ketika berhadapan dengan sesuatu yang terlalu megah untuk dijadikan angka, ada hal-hal yang hanya bisa disentuh oleh bahasa perasaan.
Ada juga kalimat yang sering dikutip dari gagasan Sagan, “If it’s just us… seems like an awful waste of space.”
Ini bukan sekadar tentang alien, tapi tentang keyakinan bahwa kehidupan tidak berhenti pada ruang kecil bernama “aku”. Bahwa ada sesuatu yang lebih luas, sesuatu yang membuat setiap pencarian menjadi masuk akal.
Kontemplasi dalam Contact makin terasa dalam saat sosok alien berkata, “You’re capable of such beautiful dreams… and such horrible nightmares.”
Manusia adalah spesies yang membingungkan, penuh harapan, penuh ketakutan, penuh potensi. Film ini seperti mengajak kita berdamai dengan kenyataan itu.
Bahwa kita selalu berada di tengah-tengah antara harapan dan kehancuran, antara rasa ingin tahu dan rasa takut, antara keberanian dan keraguan.
Dan satu lagi yang paling manusiawi, “In all our searching, the only thing we’ve found that makes the emptiness bearable… is each other.”
Sebuah kalimat yang terasa makin kuat hari ini, ketika banyak orang sibuk membuktikan diri dan lupa bahwa keberadaan manusia lain adalah penyangga terbesar kehidupan.
Pecinta Interstellar akan menemukan sesuatu yang familiar di Contact, bukan dari sisi efek visual, tapi dari sisi rasa. Sama-sama memandang semesta sebagai ruang untuk menemukan diri sendiri. Sama-sama menempatkan manusia bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai makhluk rapuh yang sedang mencari tempatnya di antara miliaran bintang.
Sama-sama percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari angka dan rumus, baik itu cinta, harapan, atau hanya keberanian untuk melihat ke atas dan bertanya, “Ada apa lagi di luar sana?”
Contact adalah film yang terasa semakin penting justru di era ketika hidup bergerak terlalu cepat. Ia mengajak kita melambat. Mengajak kita melihat bahwa rasa tidak cukup itu wajar.
Bahwa tersesat itu bagian dari proses.
Bahwa manusia tidak gagal hanya karena belum menemukan tujuan. Justru proses mencari itulah yang membuat hidup punya arah, meskipun arahnya berubah-ubah.
Dan mungkin itu warisan paling indah dari Carl Sagan, pemahaman bahwa semesta tidak harus membuat kita kecil. Ia bisa membuat kita rendah hati, iya, tapi juga bisa membuat kita merasa terhubung, merasa lebih hidup, merasa bahwa keberadaan kita di sini, betapapun singkat, punya makna.
Contact bukan sekadar film yang layak ditonton. Ia film yang layak disimpan. Film yang pelan, tapi meninggalkan jejak panjang.
Film yang bisa kamu tonton ulang ketika hidup sedang bising, ketika kepala penuh, ketika hati berat, atau ketika kamu lupa bagaimana rasanya memandang bintang dengan rasa kagum yang jujur.
Dan sering kali, itu yang kita butuhkan, bukan jawaban, tapi pengingat bahwa pencarian itu sendiri sudah cukup untuk membuat hidup terasa berarti.