Kadang rasanya dunia ini makin ramai tapi makin kosong. Timeline penuh debat, grup WhatsApp riuh oleh broadcast separuh benar, dan semua orang merasa punya tugas mulia menyelamatkan dunia, asal versinya sendiri.
Kita hidup di era di mana algoritma lebih peka dari nurani, dan “kebenaran” bergantung pada siapa yang paling keras berteriak.
Di tengah semua kebisingan itu, kata waras terdengar seperti kemewahan.
Tetapi untuk menjadi waras bukan berarti harus pasif.
Menjadi waras berarti sadar, sadar kapan bicara, kapan diam, dan kapan berhenti ikut perang yang tidak akan pernah ada pemenangnya.
Karena di dunia yang semakin terpolarisasi ini, sadar adalah satu-satunya cara agar kita tidak ikut terseret dalam arus kebencian yang tidak punya ujung.
Dahulu, sebelum dunia masuk ke era post-truth, kebenaran terasa lebih sederhana.
Kebenaran mungkin pahit, terapi jelas. Orang bisa berbeda pendapat, tapi masih bisa sepakat tentang apa yang nyata.
Kiri dan kanan bisa berdebat tentang cara, tapi sama-sama percaya pada data yang sama. Komunis dan kapitalis bisa bertarung ideologi, tapi masih punya garis nilai yang bisa dipetakan.
Sekarang semuanya cair, fakta bukan lagi fondasi, tapi alat tawar. Data disesuaikan dengan narasi, bukan sebaliknya. Kita tidak lagi mencari kebenaran, tapi pembenaran yang paling menenangkan ego.
Dan di sinilah masalahnya, ketika kebenaran menjadi relatif, orang mulai kehilangan arah moral. Kiri dan kanan tidak lagi soal kebijakan, tapi soal identitas.
Agama dan spiritualitas bukan lagi ruang bertumbuh, tapi alat berkelompok. Orang tidak ingin memahami, hanya ingin merasa menang.
Di tengah semua itu, saya selalu mengacu ke satu prinsip sederhana, jangan merugikan orang lain, jangan merugikan diri sendiri, dan jangan bodoh.
Prinsip ini bukan murni dari saya, tetapi berasal juga dari pendapat dan cerita pengalaman berbagai pihak yang menekuni praktek keseharian dan juga tetap mengasal aspek spiritualitas.
Kedengarannya sederhana dan sepele, tetapi bila benar-benar diterapkan, tiga kalimat ini bisa menjadi semacam jangkar di tengah lautan opini dan ego yang semakin besar.
Jangan merugikan orang lain, karena setiap tindakan yang melukai orang lain pada akhirnya akan memantul ke diri kita sendiri. Mungkin bukan dalam bentuk mistis seperti karma, tapi dalam logika sosial yang sangat nyata, reputasi, kepercayaan, dan hubungan baik dibangun dan juga bisa hancur karena hal ini.
Jangan merugikan diri sendiri, karena sering kali kita terlalu sibuk membuktikan siapa yang salah sampai lupa menjaga kewarasan dan ketenangan kita sendiri. Dua jam marah-marah di kolom komentar pun termasuk bentuk merugikan diri sendiri.
Dan jangan bodoh. Bukan soal pintar atau tidak, tapi soal sadar atau tidak. Bodoh adalah ketika kita tahu sesuatu tidak sehat, tapi tetap dilakukan karena gengsi, ego, atau sekadar ingin diterima kelompok.
Prinsip ini bukan ajaran agama, bukan dogma baru. Ini lebih seperti kompas kehidupan, agar kita tetap bisa berpijak di tengah badai informasi dan ego kolektif yang makin liar.
Saya selalu membedakan antara spiritualitas dan dogma. Bagi saya, spiritualitas adalah ruang sadar di mana kita mengenal diri sendiri tanpa perlu dibatasi aturan dan tafsir orang lain.
Dogma sering kali berusaha mengatur apa yang harus kita percaya, sementara spiritualitas mengajarkan bagaimana kita bisa merasakan kehidupan itu sendiri.
Dogma mencari pembenaran, sedangkan spiritualitas mencari pemahaman.
Seperti kata Eckhart Tolle, penulis buku The Power of Now dan A New Earth. “Kesadaran adalah ketika kamu tahu kamu sedang berpikir.”
Disaat dogma menciptakan tembok, spiritualitas membuka jendela.
Mungkin ini saatnya kita berhenti berjuang untuk selalu menjadi yang paling benar, dan mulai belajar menjadi manusia yang tumbuh.
Tujuan hidup bukan untuk menang, tapi untuk tumbuh. Menang debat itu mudah, memahami orang lain itu sulit. Tapi di sanalah letak kemanusiaan kita yang sesungguhnya.
“Kamu tidak bisa menjadi spiritual jika kamu masih sibuk menjadi benar.” – Alan Watts. Kalimat sederhana tapi menohok, terutama di era di mana setiap orang berlomba untuk terlihat pintar, benar, dan unggul.
Dalam bukunya Sapiens (2011), Yuval Noal Harari juga menulus, bahwa peradaban manusia dibangun bukan oleh satu kebenaran tunggal, melainkan oleh kemampuan kita untuk berkolaborasi dalam “fiksi bersama”, keyakinan, ide, dan sistem nilai yang kita sepakati tanpa harus seragam.
Maka menjadi manusia yang tumbuh bukan berarti menolak kebenaran orang lain, tapi memahami bahwa hidup punya banyak lapisan yang tidak semuanya harus kita pahami sepenuhnya.
Dalam dunia yang semakin bising, ketenangan adalah bentuk perlawanan paling elegan. Ketika semua orang sibuk berteriak, diam dengan kesadaran adalah kekuatan.
Bukan karena kita tidak peduli, tapi karena kita tahu di mana energi kita lebih berguna. Tidak semua hal perlu ditanggapi. Tidak semua opini perlu dibalas.
Kadang, tidak ikut marah adalah bentuk spiritualitas yang paling dalam.
Ketenangan bukan pasrah. Ketenangan adalah memilih untuk fokus pada hal yang bisa kita kendalikan, diri sendiri.
Di saat semua orang ingin didengar, orang waras memilih untuk mendengar. Di saat semua orang ingin mengubah dunia, orang sadar mulai dengan mengubah dirinya sendiri.
Menjadi waras di dunia yang terpolarisasi bukan berarti apatis. Justru sebaliknya, hal itu adalag bentuk kesadaran tertinggi.
Kesadaran bahwa setiap orang punya versi kebenarannya masing-masing, dan bahwa kita tidak harus membuktikan bahwa versi kita yang paling unggul.
Mungkin pada akhirnya, semua kembali kepada prinsip paling sederhana yang bisa kita pegang untuk tetap berpijak, jangan merugikan orang lain, jangan merugikan diri sendiri, dan jangan bodoh.
Karena di tengah dunia yang semakin keras kepala, menjadi manusia yang sadar adalah bentuk revolusi paling tenang, tetapi juga yang paling penting harus dilakukan dan diterapkan.
Refleksi kecil untuk tetap waras, di dunia yang sering kali kehilangan arah.