Pagi hari di stasiun itu seperti adegan pembuka film kehidupan urban. Orang-orang bergerak cepat, wajah mereka penuh fokus dan kadang lesu, sebagian besar sudah memikirkan rapat jam 9 atau antrean panjang di lift kantor.
Di antara riuhnya suara langkah kaki dan pengumuman kereta yang datang, saya berdiri, menunggu giliran tap kartu masuk.
Ada yang sibuk dengan ponsel, ada yang menggandeng anak sekolah, dan ada pula yang masih terkantuk-kantuk memegang kopi sachet. Semuanya berbeda, tapi satu hal yang menyatukan, mereka semua sedang berbagi ruang dan waktu yang sama di dalam sistem bernama kereta api komuter.
Dan seperti ruang bersama lainnya, sistem ini akan berfungsi lebih baik kalau setiap individu di dalamnya tahu bagaimana harus bersikap.
Antre, Pelajaran Sederhana yang Menentukan Segalanya
Mengantre mungkin terlihat sederhana, tapi ia adalah fondasi dari keteraturan publik. Di Jepang, penumpang tidak hanya antre masuk stasiun, tetapi juga berdiri sejajar di tanda garis platform, menunggu dengan tenang hingga seluruh penumpang keluar sebelum mereka masuk.
Di Indonesia, antrean masih sering diartikan bebas. Ada yang menyelip seenaknya, ada yang mendorong dengan alasan ‘sudah telat’. Tapi coba bayangkan jika semua orang melakukannya. Maka kekacauan akan menggantikan efisiensi.
Mengantre itu bukan sekadar urutan giliran. Ia adalah ekspresi penghormatan terhadap waktu dan ruang orang lain. Mengantre itu sopan. Mengantre itu dewasa.
Ikuti Jalur Arah yang Sudah Ditetapkan
Pernahkah kamu berpapasan dengan seseorang yang berjalan melawan arah di jalur sempit dan membuat seluruh laju orang lain tersendat?
Di Singapura dan Seoul, petunjuk jalur di lantai peron bukan hiasan. Mereka dijaga dan dihormati, karena semua orang tahu, satu pelanggaran kecil bisa membuat ritme pergerakan jadi rusak. Petugas pun tak segan menegur jika ada yang membandel.
Jalur masuk dan keluar dibuat agar kita tidak bertabrakan, agar semua bisa berjalan tanpa hambatan. Mengikutinya menunjukkan kita memahami sistem. Mengacuhkannya, sebaliknya, menunjukkan kita belum siap hidup bersama dalam kota besar.
Jaga Kebersihan Diri dan Gunakan Deodoran
Gerbong komuter pada jam sibuk bisa sangat padat. Berdiri berdesakan, lengan bersentuhan, napas nyaris menyatu. Dalam kondisi itu, kebersihan tubuh menjadi bukan hanya urusan pribadi, tapi juga kenyamanan kolektif.
Saya pernah berdiri satu jam dalam kereta yang penuh, diapit oleh dua orang yang tampaknya belum mandi sejak semalam. Saya juga pernah merasa tak enak hati ketika sadar bahwa saya lupa memakai deodoran setelah pagi yang terburu-buru.
Di negara maju seperti Jerman dan Kanada, kampanye kebersihan pribadi di transportasi umum didorong secara rutin oleh operator kereta. Karena dalam ruang bersama, bau badan bisa menjadi sumber ketidaknyamanan luar biasa.
Etikanya sederhana, mandi sebelum berangkat, gunakan deodoran, dan jaga kesegaran diri.
Parfum Itu Boleh, Asal Tidak Berlebihan
Pernahkah kamu terperangkap dalam kereta penuh, lalu seseorang lewat dan aroma parfumnya menyengat seperti menyiramkan cologne ke seluruh gerbong?
Parfum yang menyengat bisa memicu sakit kepala, alergi, bahkan asma bagi sebagian orang. Di New York, ada diskusi panjang soal fragrance-free public transport, mengapa kereta harus menjadi tempat yang netral bagi hidung siapa pun.
Gunakan parfum secukupnya. Ingat, tujuan memakai parfum adalah untuk menyegarkan, bukan menaklukkan ruang publik.
Tidak Makan dan Minum di Gerbong
Tertib makan dan minum di kereta bukan hanya soal aturan, tapi juga soal kepekaan sosial.
Di Taiwan dan Tokyo, makan di kereta komuter sangat dilarang. Bahkan mengunyah permen pun dianggap tidak sopan. Kenapa? Karena gerbong adalah ruang tertutup. Bau makanan menyebar cepat, dan bisa sangat mengganggu orang lain.
Lagipula, risiko tumpah, kotor, dan mengundang serangga menjadi alasan tambahan. Jika lapar, tunggulah sampai turun di stasiun, atau manfaatkan area luar peron jika disediakan.
Kursi Itu Bukan Hanya Hak, Tapi Amanah
Kita semua ingin duduk, apalagi setelah berjalan jauh dan membawa tas berat. Tapi ketika melihat ibu hamil, lansia, atau orang yang membawa anak kecil masuk gerbong, sadarkah kita untuk bangkit dan memberikan tempat?
Di London dan Melbourne, kampanye seperti “Please Offer Me a Seat” dilengkapi dengan lencana khusus untuk penumpang yang memiliki kebutuhan tersembunyi. Tujuannya agar orang bisa dengan lebih sadar dan peka.
Di sini, kita belum punya lencana, tapi kita punya hati. Gunakan itu untuk mengenali siapa yang lebih butuh duduk, dan ajak yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Gunakan Masker Bila Sedang Sakit
Pasca pandemi, etika memakai masker tidak lagi dianggap ‘aneh’. Bahkan di Korea dan Jepang, penggunaan masker sudah lazim sejak lama, bukan hanya karena virus, tapi juga karena etika publik.
Jika kamu batuk atau flu, tolong kenakan masker. Ini bukan hanya soal mencegah penularan, tapi juga menunjukkan bahwa kamu peduli pada kenyamanan orang lain. Suara batuk berulang bisa membuat penumpang di sekitarmu gelisah, bahkan stres.
Gunakan Headset, Jangan Setel Suara Keras
Gerbong bukan bioskop pribadi. Memutar musik atau video tanpa headset adalah bentuk ketidakpedulian.
Saya pernah mendengar suara sinetron dari ujung ke ujung gerbong, lengkap dengan efek tangisan dan teriakan. Semua penumpang terganggu, tapi tak satu pun menegur. Karena budaya menegur belum kita miliki, maka kesadaran harus datang dari dalam diri.
Gunakan headset. Dan tolong, atur volumenya. Headset yang bocor pun tetap bisa mengganggu.
Akhirnya, Ini Semua Soal Empati
Naik kereta komuter bukan hanya soal berpindah dari titik A ke titik B. Ia adalah cermin kehidupan bersama di kota modern, tentang bagaimana kita bersikap, berbagi, dan saling memahami meski tak saling kenal.
Etika komuter bukan buku aturan, tapi kesadaran hidup berdampingan. Kita tidak butuh polisi di setiap gerbong. Kita butuh lebih banyak empati, lebih banyak contoh baik, dan lebih banyak keberanian untuk berbuat benar, meski kecil, meski tak terlihat.
Mungkin suatu hari, kereta kita bisa seperti di Tokyo, tanpa dorongan, tanpa teriakan, dan semua berjalan otomatis karena setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi untuk sampai ke sana, semuanya harus mulai dari diri sendiri. Dari kamu. Dari saya. Dari kita semua.
Selamat menempuh perjalanan. Jangan lupa senyum, dan kalau bisa, beri tempat duduk untuk yang lebih butuh hari ini.