Appetizer… Sebelum menikah, kami berangan-angan untuk mereguk hangatnya bulan madu di Pulau Lombok. Namun, apa daya ketika cicilan rumah makin tidak ramah dengan kantong kami… belum lagi ketika terpaksa membeli jet pump baru karena pompa tercinta kami tiba-tiba raib digondol maling… hiks… hiks….
Alhasil… tak ada salahnya jika pura-pura ber-honey moon dengan fasilitas kantor ha-ha-ha. Didit kebetulan mendapat dinas luar kota dengan destinasi: Kota Malang. Mumpung saya juga belum pernah ke sana… ya sudahlah berangkat dengan bayangan bakalan beromantis-romantis ria di kota yang sejuk itu.
Tapi??? Trust me: do not mix sex with business!!!
Main Course… Dua hari terakhir menjelang pulang ke Cibinong, saya berjalan kaki seorang diri (that’s why I told you: do not mix sex with business) menuju pusat keramaian kota tua Malang yang mayoritas bangunannya kental sekali dengan nuansa kolonial. Kebetulan hari itu dua hari menjelang 17 Agustus, jadi aroma kemerdekaan benar-benar kentara.
Saat keringat mengucur deras dan kerongkongan minta dibasahi sesuatu yang segar-segar, tiba-tiba mata menemukan dua baris tulisan besar di dinding atas sebuah rumah tua:
“Toko Oen “
Restaurant, Ice Cream Palace, Patissier “Es krim!!!†jerit saya dalam hati.
Ketika melangkahkan kaki di rumah besar yang didominasi cat putih dekil (sayang sekali rumah seelok itu tidak dibersihkan dengan cermat) dan sedikit nuansa hijau tua, sebuah spanduk bertuliskan: “Welkom in Malang. Toko Oen Die Sinds 1930 Aan De Gaste Gezelligheid Geeft†terpampang menyolok mata.
Ah, pantas saja! Sudah 76 tahun toko ini melayani para pelanggannya dan menurut cerita seorang pelayan yang kerap menggunakan kostum putih-putih plus peci hitam, toko ini tetap terjaga keasliannya. “Untuk tetap menciptakan kesan TEMPOH DOELOE,†katanya. Hmmm… mungkin debu-debu yang membuat dekil itu pun berasal dari tahun 1930.
Di dalam bangunan itu ditata sejumlah set bangku kuno gaya Belanda (bentuknya pendek dan kalau kita duduk, bokong lebih menjorok ke belakang dari biasanya… tahu nggak, sih, maksud gue? He-he-he) dan beberapa set meja makan. Ada satu sisi ruangan yang tidak pernah kosong. Setiap kali satu pengunjung selesai makan di situ, selalu berganti dengan pengunjung baru. Sisi itu adalah sisi dekat jendela utama toko. Yang menjadi daya tariknya adalah jendela besar yang ditutupi dengan vitrage berenda plus diselingi tanaman hijau.
Buku menu saya buka. Deretan nama-nama masakan Indonesia, Cina, Eropa plus aneka salad dan sandwich menggoda iman. “Ingat Happy… kamu sendirian. Kalau mau makan banyak, tunggu Didit yang bisa kamu porotin. Get focus!†bentak hati nurani saya. Maka, saya pun menurut dengan langsung menuju menu es krim.
“Mampus gue!†teriak saya ketika melihat daftar nama dan beberapa gambar es krim yang menggoda, “Nggak mungkin cuma cukup satu porsi.†Namun, hati nurani hatus tetap dituruti, bukan? Jadi saya memilih es krim yang mempunyai nama paling seksi menurut saya, “Pralineâ€, seharga Rp15.000. Di benak saya, benda itu pastilah mirip-mirip coklat praline andalan Dapur Coklat, hanya saja dibalut dengan es krim tebal. Jadi terbayang kelezatannya.
Beberapa saat kemudian pesanan saya datang. Ternyata, jauuuuuh… banget dari bayangan saya. Satu scoop es krim berwarna kuning muda ditambah garnish secuil ceri di atas putaran cream terhidang di meja. “Cuma segini?†umpat saya kepada hati nurani saya yang ternyata sesat itu.
Saya menyendok satu bagian kecil dari gundukan es krim itu. Teksturnya sangat lembut di lidah dan perlahan mencair. Komposisi krim dan susunya benar-benar sempurna dan begitu segar. Sepintas, rasanya mirip sekali dengan es krim Ragusa di bilangan Gambir, Jakarta. Namun, berani sumpah es krim Toko Oen jauuuh lebih nikmat. Saya mencoba mencecap-cecap lagi apa yang membedakan. Hmmm… saya merasakan ada sedikit rhum di dalam Praline itu. Selain membuat es lebih harum, rhum membuat cita rasa yang khas.
Mata saya kemudian tertuju pada sebuah tulisan di buku menu yang sengaja saya minta untuk ditinggalkan: De uit grootmoederstijd allom bekende “ijs cream Oen†(zuiver en allen uit natur producten). Kira-kira terjemahan bebas sebebas-bebasnya, begini: Es krim Toko Oen yang terkenal ini berasal dari resep nenek moyang dan terbuat dari bahan alami. Ah, pantas saja terasa kesegarannya.
Dessert… Sebelum menuju stasiun kereta api Malang Baru keesokan harinya, saya menyeret Didit ke Toko Oen… untuk morotin tentunya. Dari semua rangkaian our fake honeymoon mungkin inilah salah satu yang paling berkesan (baca: buat kami semua kegiatan makan selalu romantis he-he-he…).
Didit memesan Kakap ala Meuniere dan minuman favoritnya sepanjang masa lemon tea, sementara saya memesan Rundtong Steak alias steak lidah dan milkshake coklat. Kedua steak yang kami pesan, sih, rasanya standar dan masih jauh lebih enak steak-nya American Grill, tapi milkshake-nya, coy, enak buaanget. Apa lagi yang membuat enak kalau bukan es krimnya.
Merasa ketagihan, kami pun akhirnya memesan pencuci mulut corn ice cream, yang terdiri dari dua scoop es krim –rasa vanila dan coklat- dan pipilan jagung manis bercampur irisan buah peach. Rasanya: segar, asam, dan kecut. Namun, es krimnya tetaplah top. Ternyata semua es krim di Toko Oen mempunyai cita rasa yang sama. Slurup… dan tidak cukup kalau hanya sedikit.
Idealnya (mengingat ini adalah dessert dan ini masih dalam rangkaian bulan madu), es krimnya tidak usah disajikan di gelas, cukuplah di atas tubuh saya dan biar Didit mencicipinya dari situ… hehehe… tapi nggak mungkin, dong, secara kereta api menuju Jakarta sebentar lagi mau berangkat.
Ya sudahlah… two scoops ice cream at Toko Oen bisalah dianggap pengganti bulan madu yang berantakan….
PS: Moral cerita ini adalah sekali lagi: Do not mix sex with business!
tuh kan dit, happy aja gak mau dicampur2… lagian didit dimane aja juga jadi kok hap.. :p
dit masih suka ke tondongta gak…?
udah lama nih nggak ke tondongta…