Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial dan pemberitaan Indonesia dipenuhi dengan kisah tragis, seorang pendaki asal Brazil, Julia Marins meninggal dunia di Gunung Rinjani.
Peristiwa ini segera memantik diskusi luas. Namun yang menarik, bukan sekadar tentang kronologi atau teknis penyelamatan, melainkan tentang bagaimana publik menyikapi kegagalan tersebut.
Alih-alih menerima bahwa ini adalah operasi penyelamatan yang gagal, nyawa tak tertolong meski tim sudah bergerak , banyak narasi justru mengarah pada pembelaan.
Ibarat pertandingan bola, dengan kekalahan 1 – 0, alih-alih mengakui statistik kekalahan yang terjadi publik malah membuat narasi berbagai alasan mengenai tim yang sudah berlatih keras, ditempa di barak militer Korea Utara, makan bola api, tidur di dalam kulkas dan segala cerita heroik lainnya.
Cerita heroik bermunculan, tentang relawan mengabiskan waktu di tebing dalam cuaca buruk, tentang medan ekstrem yang “tidak manusiawi”, hingga upaya terakhir yang penuh pengorbanan.
Narasi ini menyebar luas, dan kritik terhadap efektivitas operasi dianggap tak sensitif, bahkan menyerang.
Ketika Kegagalan Sulit Diterima
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik cara publik merespons ini?

Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut cognitive dissonance , ketidaksesuaian antara kenyataan dan keyakinan yang dianut. Masyarakat percaya bahwa tim SAR Indonesia tangguh, siap siaga, dan profesional.
Ketika kenyataan menunjukkan korban tetap meninggal, muncul ketegangan kognitif. Untuk meredakannya, publik membentuk narasi alternatif yang lebih bisa diterima, bahwa ini bukan kegagalan, tapi perjuangan maksimal dalam kondisi tak mungkin.
Leon Festinger, psikolog yang memperkenalkan teori cognitive dissonance ini pada tahun 1957, menjelaskan bahwa manusia akan cenderung mencari pembenaran untuk menghindari perasaan tidak nyaman tersebut. Dan di era media sosial, pembenaran ini menyebar dalam bentuk cerita heroik yang viral, menyentuh emosi dan mudah diterima.
Namun dalam konteks Indonesia, ada faktor tambahan yang turut memperkuat gelombang pembelaan ini, banyaknya masyarakat yang aktif dalam komunitas pendakian gunung serta para pemangku kepentingan di bidang pengelolaan wisata alam dan SAR.
Kedekatan emosional mereka terhadap dunia pendakian bisa memunculkan bias, di mana kritik terhadap performa SAR dirasakan seperti kritik terhadap identitas kolektif mereka. Dalam teori psikologi sosial ini mendekati konsep ingroup protection, di mana kelompok berusaha melindungi reputasinya dari kritik luar dengan menyusun narasi defensif.
Tak jarang pula, bias ini diperkuat oleh pengalaman pribadi. Banyak warga Indonesia memiliki kenangan mendaki gunung, bersama teman, keluarga, atau komunitas.
Pengalaman itu memberi kesan positif, penuh perjuangan, dan seringkali melibatkan relawan SAR. Ketika muncul kritik terhadap SAR atau sistem pendakian, reaksi emosional pun muncul.
Mereka merasa sedang membela bukan hanya institusi, tapi juga kenangan personal yang bermakna. Hal ini membentuk semacam nostalgic bias, di mana pengalaman positif masa lalu membentuk ketidaksiapan menerima bahwa sistem yang sama bisa gagal di kondisi lain.
Di sisi lain, para pejabat yang terlibat dalam pengelolaan kawasan atau operasi SAR juga memiliki kepentingan reputasional.
Kritik publik bisa dianggap sebagai ancaman terhadap kredibilitas dan posisi mereka, sehingga muncul kecenderungan untuk mengalihkan fokus dari pertanyaan “kenapa gagal?” menjadi “lihat betapa sulitnya medan yang kami hadapi”.
Glorifikasi Pengorbanan, Menghindari Evaluasi
Tak dapat disangkal, upaya di lapangan penuh tantangan. Tapi glorifikasi yang berlebihan justru bisa jadi bentuk collective denial. Masyarakat, secara tak sadar, menolak kenyataan menyakitkan bahwa ada yang salah, entah dalam manajemen waktu, strategi evakuasi, atau sistem komunikasi.
Sebaliknya, kritik malah dianggap sebagai bentuk tidak empati. Ini berbahaya. Karena tanpa keberanian untuk mengakui kekurangan, tidak ada perbaikan.
Dalam konteks ini, kita melihat kecenderungan hero complex, baik dari publik maupun institusi. Ketika satu lembaga atau kelompok membentuk identitas sebagai pahlawan, maka kritik terhadap performa dianggap ancaman terhadap identitas moral mereka.
Akibatnya, narasi kegagalan diredam, diganti dengan cerita keberanian.
Mungkin saya perlu diperkenalkan satu kerangka baru yang bisa disebut sebagai “rescue patriotism”, tiba – tiba aja muncul dibenak ketika menulis blog ini, semangat membela narasi penyelamatan nasional dengan cara yang menutup ruang kritik, karena dianggap sebagai bagian dari harga diri bangsa.
Dalam fenomena ini, keberanian untuk mengoreksi menjadi seolah-olah bentuk pengkhianatan terhadap para pahlawan penyelamat. Padahal, koreksi dan evaluasi adalah bagian esensial dari proses menjadi lebih baik.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Penting untuk menyadari bahwa menghargai upaya bukan berarti menolak evaluasi. Dua hal ini bisa berjalan beriringan. Kita bisa menghormati perjuangan tim SAR yang bertugas dalam kondisi berat, namun tetap membuka ruang evaluasi atas aspek yang mungkin bisa diperbaiki di masa depan.
Narasi heroik memang menyentuh emosi dan membangun empati, tapi perlu juga dikaji secara kritis. Narasi tersebut tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya mencari fakta dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Evaluasi berbasis data jauh lebih bermanfaat daripada penghiburan semu.
Kritik seharusnya tidak dianggap sebagai serangan. Dalam banyak negara, kegagalan dalam operasi penyelamatan menjadi bahan studi, audit terbuka, bahkan reformasi institusional.
Di Jepang, misalnya, kegagalan dalam penanganan bencana Fukushima menghasilkan dokumen transparan yang menjadi rujukan dunia. Pemerintah Jepang melalui National Diet of Japan, kalo tidak salah ini mirip MPR dan DPR nya disana membentuk Nuclear Accident Independent Investigation Commission (NAIIC) yang menyatakan secara tegas bahwa bencana tersebut adalah hasil dari kegagalan manusia, bukan sekadar bencana alam.
Laporan lengkap NAIIC dapat diakses publik di sini NAIIC Full Report PDF, kalo ngga bisa didownload bisa kunjungi blog ini dan download dari situ.
Identitas bangsa tidak ditentukan dari bisa tidaknya menerima kritik, melainkan dari keberanian untuk memperbaiki diri. Negara yang sehat bukan yang menutupi celahnya, melainkan yang dengan sadar mengevaluasi dan memperkuat fondasinya agar lebih siap menghadapi masa depan.
Menutup Luka dengan Kejujuran
Kematian pendaki asal Brazil ini adalah tragedi. Tapi ia juga menjadi cermin, tentang bagaimana kita sebagai bangsa merespons kegagalan. Apakah dengan menutupinya dengan narasi indah, atau dengan keberanian untuk berkata, “kami harus bisa lebih baik lagi.”
Kita bisa membandingkan dengan insiden Annapurna di Nepal pada 2023, ketika seorang pendaki bernama Anurag Maloo dari India jatuh ke dalam celah es (crevasse) dan dinyatakan hilang selama beberapa hari.
Proses penyelamatannya menjadi perhatian internasional karena tim SAR Nepal tidak hanya melakukan evakuasi dengan risiko tinggi, tetapi juga mengumumkan audit terbuka terhadap SOP pencarian di gunung-gunung tinggi Himalaya.
Hasilnya digunakan sebagai rekomendasi publik agar kejadian serupa bisa dicegah. Dokumentasi kejadian ini disampaikan oleh media dan komunitas pendakian secara terbuka, termasuk video resmi dari operasi penyelamatan yang bisa diakses di SnowBrains.
Bangsa yang besar bukan yang tak pernah gagal, tapi yang berani mengakui dan memperbaiki kegagalannya.