daftar harga makanan

Semua bermula ketika kami nonton sebuah acara kuliner di sebuah televisi lokal. Wah, boleh juga kalau Senin (14/7) berwisata kuliner di Bogor. Apalagi Didit sudah mengambil cuti untuk mengantarkan istrinya yang cantik (hehehe…) untuk ke DSOG, katanya sih penasaran mau lihat wajah si Utun (sebutan kami berdua untuk janin yang ada di dalam kandunganku). Meskipun, aku sempat mengajukan persyaratan: “Kalau si Utun posisinya sudah OK, baru kita makan-makan.” Maklum meskipun sudah mendekati due date, ni bocah masih aja belum stand by di mulut rahim.

Dan benar saja, DSOG-ku masih bertanya-tanya, “Lho, kok, belum masuk juga ya, Bu?” Uuuh… si Utun masih bandel, nih. Hasil USG-nya pun menunjukkan kalau dia sudah berbobot 3,2 kg. Lagi-lagi DSOG berkomentar, “Anak ibu agaknya memang gempal.” Aku dan Didit hanya bisa senyam-senyum.

Keluar dari rumah sakit, perut kami melilit karena kelaparan dan otak pun agaknya masih memutar adegan demi adegan kelezatan makanan di program kuliner yang kami tonton semalam. Maka, meskipun posisi si Utun belum OK, kami memutuskan untuk tetap berwisata kuliner (hehehe… mengingkari janji demi kenikmatan perut… maaf, ya, Tun…).

SOP BUNTUT MANG ENDANG (INCU MA’ EMUN)

sop buntut

Sebagai pemberhentian pertama, motor di arahkan ke Jalan Sudirman, Bogor, tepatnya di deretan ruko-ruko di daerah Air Mancur. Wah, ini dia warungnya…. Kami memesan menu andalan Sop Buntut yang banyak direkomendasikan oleh media-media cetak maupun televisi (eh, ini terbukti lho dari tempelan berbagai potongan artikel yang ditempel di sepanjang dinding warung ini…). Tak lama kemudian muncullah dua mangkuk sop yang panas dan dua piring nasi.

Agaknya, perut tak bisa didiamkan lebih lama lagi. Setelah menambahkan sambal, acar, dan kecap, maka sesendok sop didaratkan di lidah. Hmmm… buntutnya lembut dan dagingnya begitu mudah terlepas dari tulangnya (makanya untuk menghindari daging lembut itu terlepas dari tulangnya, dalam memasak si empunya warung mengikatnya untuk ukuran per porsi). Paduan bumbunya pun begitu pas. Tidak terlalu medok dan tidak pula terlalu soft. Pokoknya, paaass…. Sambalnya juga enak. Apalagi acarnya yang terdiri dari potongan mentimun, bengkuang, cabe rawit, dan bawang merah segar (itu yang paling kucari… bawang merah segar… sluruppp).

Sayuran yang menjadi pendamping buntut pun tergolong lengkap, yaitu wortel, kol, dan brokoli. Jarang-jarang ada warung sop buntut menambahkan brokoli. Tapi, sayang porsi sayurannya tidak terlalu banyak (brokolinya cuma satu kuntum per mangkok hehehe…). Kol dan wortelnya pun kelihatan terlalu lama dimasak, jadi agak lembek. Padahal, kalau dimasak tak terlalu lama pasti lebih sip… ada nuansa krenyes-krenyesnya.

Setelah selesai makan, Didit agak tercengang dengan harga yang tertera di bill. Semangkuk sop buntut dan nasi berharga Rp. 27.000. Menurut kami itu sih masih kemahalan untuk ukuran Bogor dan porsinya pun tidak terlalu banyak (terutama untuk nasi, sayuran, dan kuahnya). Yah… apa boleh dikata, sudah tersohor, sih… jadi mungkin sah-sah saja untuk mematok harga segitu.

ES SEKOTENG BOGOR PERMAI

es skoteng

Selesai makan sop buntut, aku bertanya kepada Didit, “Masih bisa muat es sekoteng nggak perutmu?” Dia pun menggangguk. Kami berdua memang gila makan jadi segeralah kami meluncur sejauh kira-kira 200 meter dari warung sop demi semangkok es yang juga kesohor itu.

Maksud hati ingin mencicipi es kelapa kopyor, tapi ternyata stoknya habis. Maka, kami memesan es sekoteng yang juga sebenarnya tidak lengkap karena stok alpukat sudah habis. Datangnya kesiangan, sih. Yah, tak apalah… sudah tanggung.

Dua mangkok es pun terhidang. Di bagian dasar mangkok terdapat serutan es, lalu di atasnya diberi lapisan putih yang terlihat sangat lembut, lalu di atasnya lagi ada sekoteng berwarna merah, terakhir diberi siraman susu kental manis putih.

Setelah diaduk-aduk sebentar, suapan pertama diluncurkan. Eeeeenaaak banget…. Aku pikir lapisan putih lembut yang ada di atas serutan es itu bubur sumsum dari tepung beras, ternyata kelapa yang super-duper muda. Saking mudanya, daging kelapa itu bisa meluncur ke tenggorokan tanpa dikunyah lebih dulu. Segar bangetlah pokoknya…. Harganya pun termasuk murah, Rp. 7.000 per porsi.

Tidak perlu menunggu terlalu lama, es pun langsung habis. Dan perut rasanya kenyaaaang banget. Lalu, aku pun nyeletuk, “Nggak heran, kan, kalau anak kita gempal. Momma dan Poppa-nya aja gila makan.”

4 Comments Nggak Heran Kalau Anak Kami Gempal

Leave a Reply to didut Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.